Gerontokrasi, Awan Gelap Harapan Politik Pemuda

MONITORDAY.COM - Pemuda di tiap generasi memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Sehingga, dibutuhkan pendekatan yang unik bagi setiap generasi pemuda. Memasuki era revolusi industri 4.0 dan society 5.0 (yang sudah dimulai pada tahun 2020), perkembangan arus perubahan sosial berlangsung semakin cepat dan masif. Muncul berbagai macam fenomena pemuda kontemporer terkait dengan tolak ukur keberhasilan bagi pemuda untuk menjadi dewasa secara sukses.
Setiap zaman tentu bergerak dinamis yang kadang sulit ditebak serta memiliki tantangan yang berbeda dengan kerumitan yang berlainan pula. Pemuda 1928 memiliki tantangan menyingkirkan primordialisme untuk meleburkan diri dalam semangat persatuan Indonesia. Sementara, tantangan kaum muda hari ini, sudah pasti berbeda dengan pemuda pelopor pra-kemerdekaan pada waktu itu. Tak terkecuali, tantangan kaum muda di bidang politik dan tentunya tidak bisa disamakan pola dan strategi gerakannya.
Pemuda hari ini dituntut untuk cepat tamat kuliah, mempunyai pekerjaan, menikah, punya rumah dan mobil . Jika hal ini tidak terpenuhi maka transisi pemuda dianggap extended dan sangat mungkin didefinisikan sebagai gagal. Di sisi yang lain, perubahan sosial menuju era modernitas lanjut dan juga era hegemoni neoliberalisme membuat proses negosiasi dalam transisi pemuda menjadi semakin kompleks, rapuh dan rentan terhadap risiko-risiko yang tidak dapat diprediksi baik di masa sekarang maupun di masa depan. Tentu tekanan psikologis yang dibentuk oleh algoritma sosial semacam ini, sedikitnya memudarkan orientasi dan target pemuda dalam bergerak.
Pada akhirnya secara psikologis akan mempola aktivitasnya menjadi individualistik, apatis dan enggan untuk melibatkan diri secara penuh dalam politik, karena menganggap politik adalah salah satu metode kehidupan yang tidak masuk dalam list keberhasilan di usia muda bagi mereka. Tentunya secara kuantitatif jumlah pemilih pemuda hari ini sangat signifikan. Hasil sensus penduduk tahun 2020 mencatat ada 144,31 juta jiwa generasi muda yang mempunyai peran aktif dan sebagai pemilih dalam banyak arena kontestasi politik, maupun aktivitas organisasi.
Dalam sebuah negara demokrasi, partisipasi politik merupakan aspek penting sekaligus ciri khas adanya modernisasi politik. Di negara-negara yang proses modernisasinya telah berjalan dengan baik, biasanya tingkat partisipasi politik warga negara meningkat. Peningkatan partisipasi politik tergantung dari aktif atau tidaknya genarasi mudanya dalam mengambil peran-peran dalam aktivitas politik.
McClosky, profesor emeritus ilmu politik di University of California, berpendapat bahwa partisipasi politik sebagai: kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana peserta mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum.
Belum selesai dalam persoalan psikologis, kini generasi muda pun menghadapi cobaan dominasi sistem politik yang masih dipegang secara penuh oleh generasi tua (gerontokrasi). Alih-alih untuk menyiapkan dan mempercayakan kepada generasi muda, pemain-pemain senior justru membuat ekosistem politik yang sangat tebal dengan kepentingannya yang tak berkesudahan.
Meski tidak bisa dinafikan terdapat anak-anak muda yang tampil di pentas politik atau jabatan publik, sejatinya itu pun hanya sebagai mediator keinginan politisi tua yang tidak punya independensi dalam menentukan arah perjuangan. Sementara politisi muda yang bukan bagian dari kelompok politik, meskipun mempunyai kematangan dan kemampuan mesti mendaki dan merangkak dari bawah. Banyak dari mereka masih terseok-seok untuk mendapatkan posisi strategis, baik di internal parpol maupun di jabatan-jabatan publik.
Dalam berbagai realitas politik, kaum tua harus diakui masih mendominasi, bukan hanya dilihat dari sisi jumlah komposisinya melainkan juga peran dan fungsi politik kaum tua masih terus mendominasi. Lebih parah lagi, dominasi politisi tua didukung oleh tingkat apatisme terkait isu sosial politik yang juga paling tidak diminati oleh generasi milenial. Litbang Kompas juga menunjukkan hanya 11 persen generasi milenial yang mau aktif menjadi anggota dan pengurus partai politik.
Kendati demikian, kita juga tak bisa hanya kemudian menghakimi sikap apatisme pemuda terhadap politik. Sikap demikian, boleh jadi, lantaran kemuakan mereka secara personal dengan sistem dan polah-tingkah para elite politik yang pragmatis, memutus proses kaderisasi, tidak memberikan pemahaman perjuangan dan hanya berjuang untuk kepentingan pribadi dan golongannya.
Sikap politik semacam itu juga bisa dibaca sebagai protes dan perlawanan terhadap perilaku elite politik dan tentunya akan berbahaya bagi keberlangsungan etika polik juga untuk kedepannya. Guru besar dari Universitas Northwestern Amerika Serikat, Prof Jeffrey Winters, menyebut bahayanya jika sistem kekuasaan yang dikendalikan hanya oleh golongan atau pihak berkuasa dengan tujuan kepentingan golongan itu sendiri, termasuk mempertahankan kekuasaan serta kekayaan. Apalagi ditambah dengan tidak memberi ruang pemuda secara kongkrit dalam aktivitas politik yang real.
Akhirnya dengan terus menguatnya praktik politik semacam ini, anak muda yang memiliki gagasan dan modal politik harus berjuang ekstra untuk menjebol tembok gerontokrasi. Ini tentu tidak mudah. Selain mesti menyiapkan stamina dan sumber daya politik, anak-anak muda ini sudah pasti harus pula memiliki strategi politik untuk berhadapan dengan kekuatan gerontokrasi yang menggurita ini. Bukan hanya melakukan perlawanan dengan bersikap apatis saja, tentunya kita masih percaya bahwa pemuda masih sebagai generasi harapan bangsa tak dibenarkan pesimistis dalam memandang masa depan politik kebangsaan.
Jadikan semakin menguatkanya tembok gerontokrasi sebagai tantangan dan cambuk penyemangat. Jadikan suasana keterjajahan ini sebagai spirit agar terus berjuang mewujudkan politik yang berorientasi pada kepentingan bangsa dan negara.
Sastrawan Pramoedya Ananta Toer pernah berkata, “Sejarah dunia adalah sejarah orang muda. Jika angkatan muda hari ini mati rasa, hanya apatis, tidak berani melawan, mengakhiri perjuangan, matilah semua bangsa.”
Itu sebabnya, kehadiran dan kiprah pemuda dalam panggung politik sudah tentu dinanti oleh publik. Selain sebagai panggilan sejarah, dan tanggung jawab peradaban, kehadiran pemuda dapat memberi asupan bagi krisis kaderisasi yang dialami partai politik sekaligus memberi warna melalui gagasan-gagasannya untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan.