Fenomena Konglomerasi Media di Tanah Air

MONITORDAY.COM - Kajian Ekonomi Politik Media merupakan studi yang mempelajari media massa yang dikaitkan dengan ekonomi dan politik. Derasnya arus penyeberangan informasi akibat perkembangan teknologi mengakibatkan efek yang sangat luas, termasuk didalamnya media, ekonomi dan politik.
Persamaan utama antara politik, ekonomi dan media ada pada hubungannya dengan orang banyak. Ketiga aspek tersebut membutuhkan dan dibutuhkan oleh masyarakat.
Politik berkaitan dengan ideologi, dan topik ideologi tentu saja menyangkut kehidupan sosial rakyat. Selanjutnya, ekonomi berhubungan dengan produksi, modal (capital), distribusi dan keuntungan. Sedangkan media merupakan jembatan antara topik atau tema yang diangkat dengan khalayak atau masyarakat.
Secara teoritis, ketiganya bisa berjalan dengan harmoni. Media massa bisa memediasi kegiatan ekonomi yang terkait dengan produksi dan distribusi content media yang dibutuhkan khalayak.
Selain itu, Media juga bisa memediasi kegiatan politik dari para politisi kepada masyarakat. Bahkan sebaliknya, media juga bisa memediasi opini, tuntutan, atau reaksi masyarakat kepada para politisi.
Media massa adalah ruang lalu lintas bagi segala macam ide-ide yang menyangkut kepentingan orang banyak. Namun demikian, persoalannya adalah, Apakah media bisa bertindak adil atas berbagai kepentingan yang dimediasinya Bagaimana media massa menempatkannya diri secara proporsional? Apa yang menyebabkan sebuah kegiatan politik dari golongan tertentu lebih dikedepankan ketimbang kepentingan politik lain dari golongan yang lain juga? Jawabannya terkadang tak begitu jelas.
Dalam hal ini belum ada undang-undang yang tertuang untuk hal ini. Belum ada aturan yang mengkriteriakan bahwa seseorang harus mendapat sekian kalimat untuk dimuat di media cetak, berapa menit di televisi, dan harus mendapat intonasi yang sama dari pewawancara dalam media televisi.
Tak hanya itu, masalahnya bukan hanya terletak pada bagaimana bertindak adil, tetapi juga bagaimana gemuruh aktivitas ekonomi dan politik itu bisa selaras dengan empat fungsi media massa, yakni memberikan informasi, memberikan pendidikan, memberikan hiburan, dan melakukan kontrol sosial.
Ketika menghadapi dunia ekonomi dan politik, media massa sering kali menemui kesulitan kesulitan tersendiri. Di satu sisi, media massa dituntut untuk melaksanakan fungsinya agar pembaca, pemirsa, atau pendengar kian memiliki sikap kritis, kemandirian, dan kedalaman berpikir.
Tapi di sisi lain, pragmatisme ekonomi memaksa media mengadopsi logika politik praktis yang terpatri pada spektakuler, sensasional, superfisial, dan manipulatif.
Maka dari itu, pemahaman terhadap kajian politik ekonomi media mengacu pada apa yang disebutkan oleh kepemilikan media, produksi, konsumsi dan distribusi media, kontrol kekuasaan, relasi dengan penguasa, pengusaha, pandangan kristis terhadap media dan hubungannya dengan rekonstruksi peradaban manusia.
Kepemilikan media menciptakan konglomerasi media yang disebabkan media massa dikelola sebagai industri dengan ideological tertentu yang mengarahkan pengelolaan media. Media berkembang terarah kepemilikannya menjadi miliki kelompok-kelompok tertentu yang jumlahnya sangat terbatas.
Perusahaan media tersebut menguasai informasi yang kemudian dikelola sesuai dengan ideological group tersebut, sehingga secara ilmiah dapat diteliti kecenderungan sosial politik media tersebut.
Tokoh-tokoh pemilik media massa konvensional di Indonesia diantaranya Jakob Oetama, Dahlan Iskan, Surya Paloh, Harry Tanusoedibyo, Aburizal Bakrie, Khairul Tanjung dan Wishnutama.
Menurut regulasi di Indonesia juga diatur pelarangan terhadap kepemilikan silang (monopoli kepemilikan) dan mendorong persaingan sehat dibidang penyiaran. Pada bab 2pasal 5 point g. monopoli kepemilikan media di satu sisi hanya menguntungkan pihak pemilik media.
Di sisi lain menciptakan monopoli informasi publik, yang itu berarti mematikan kreativitas dan potensi warga negara. Dan menyebabkan adanya keseragaman berita yang ditayangkan.
Sementara itu, monopoli kepemilikan bisa dilihat pada kasus kepemilikan surat kabar, televisi, radio, portal berita. Misalnya, Kompas + Tribunnews, Media Indonesia + Metro TV, atau Indosiar + Indofood, dan seterusnya.
Gejala konglomerasi media di Indonesia muncul setelah tahun 1998, banyak televisi yang akhirnya bergabung dengan televisi lain untuk melakukan konsolidasi guna membentuk konglomerasi media yang lebih besar, misalnya Trans Tv dan Tv 7.
Nampaknya hingga saat ini, telah terbentuk setidaknya empat kelompok konglomerasi media, yaitu Media Nusantara Citra (MNC), Grup Bakrie, Kompas Gramedia Grup dan Media Grup.
Sedangkan yang menarik konglomerasi kepemilikan media di Indonesia lebih didorong oleh persaingan dalam perebutan iklan serta efisiensi produksi. Sementara konglomerasi global lebih dimotifi oleh kapitalisasi informasi, sehingga penekanan pada “bisnis informasi” menjadi sangat dominan.
Terkait hal ini media tidak hanya sebagai penayang, tetapi juga pemasok informasi atau isi tayangan ke media-media lain. Dengan demikian, iklan tidak menjadi “panglima” bisnis, tetapi informasi-lah yang menjadi panglimanya. Mereka menjual hak siar di mana-mana dan menghasilkan keuntungan yang berlipat ganda. Iklan menyusul.
Ekonomi politik media memang telah menjadi fenomena baru dalam indutri media di Indonesia pasca reformasi. Di mana sistem media berkorelasi dengan sistem sosial, politik dan ekonomi. Fenomena ini mempertegas bahwa sistem media massa mempunyai korelasi terhadap sistem sosial, politik yang berlaku di negara di mana media beroperasi. Kendali politik dan ekonomi (baca: pasar) selalu menjadi faktor signifikan yang berpengaruh terhadap operasi media.
Sedangkan kepentingan politik dan pasar sama-sama mengedepan, maka rakyatlah (penonton atau konsumen media dalam hal ini) menjadi target empuk sekaligus komoditas industri media.
Selain itu, memang tidak dapat diabaikan banyak produk media yang positif, namun banyak pula produk media yang bersifat dangkal dan tidak sesuai dengan konteks budaya, hanya karena persoalan pesanan misalnya. Dengan menggunakan proposisi demikian, dapat dikatakan bahwa dalam konteks kapitalisme, jurnalis dan media lebih merupakan “alat produksi”.
Inilah sesungguhnya catatan kritis yang harus dimunculkan, bahwa paradigma ekonomi politik media Indonesia hari ini dipengaruhi oleh sistem kepemilikan media (konglomerasi), regulasi dan bahkan ideologi tertentu.
Lalu, tinggal bagaimana industri media, dalam segala persoalan itu, diharapkan tidak mengabaikan tanggungjawab sosialnya sebagai ruang publik penyampai informasi sebagai ruang pertukaran nilai-nilai dalam masyarakat yang terus bergerak dinamis.
================
*Fachri Septian, Mahasiswa Magister Universitas Muhammadiyah Jakarta.