Eks Hakim Konstitusi Sebut UU Cipta Kerja Sah Jadi Objek Uji Konstitusional

Kalau sudah diundangkan berarti sudah sah menjadi objek pengujian konstitusionalitas nya, baik proses pembentukan maupun materi muatannya. Tidak perlu menunggu revisi.

Eks Hakim Konstitusi Sebut UU Cipta Kerja Sah Jadi Objek Uji Konstitusional
Hakim konstitusi, I Dewa Gede Palguna/ Net

MONITORDAY.COM - Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2015-2020, I Dewa Gede Palguna mengatakan, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sah untuk menjadi objek uji konstitusional di MK. Menurutnya, suatu Undang-Undang sah diuji bila sudah pernah diundangkan oleh negara, meskipun nantinya Omnibus Law tersebut direvisi oleh para pembentuk Undang-Undang, yaitu Pemerintah dan DPR RI.

"Kalau sudah diundangkan berarti sudah sah menjadi objek pengujian konstitusionalitas nya, baik proses pembentukan maupun materi muatannya. Tidak perlu menunggu revisi," kata Dewa dilansir dari ANTARA, Rabu (4/11).

Namun, Dewa mengaku tak tahu bagaimana nanti respons MK terhadap pengajuan uji kontitusional itu. Terkait soal kemungkinan, kata Dewa, mungkin saja MK membatalkan UU tersebut secara keseluruhan, jika MK berpendapat bahwa pembentukan UU tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

"Ya tentu terbuka kemungkinan dinyatakan 'dibatalkan' secara keseluruhan meskipun selama ini belum pernah ada presedennya. Namun, saya yakin, MK akan sangat berhati-hati dalam soal ini," jelas Dewa.

Lebih lanjut, Dewa mengatakan, memang banyak langkah lain untuk membuktikan kekurangan dalam penyusunan UU tersebut, tetapi itu tidak akan memiliki dampak legal apa pun terhadap berlakunya UU yang bersangkutan.

Namun, satu-satunya peluang untuk pembatalan UU tersebut hanya melalui Mahkamah Konstitusi.

Sedangkan, ia mengatakan hanya MK yang bisa memutuskan bahwa pembentukan UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945, agar seluruh UU tersebut akan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Meski demikian dan apa pun alasannya, Dewa mengatakan bahwa tidak telinganya yang mengakibatkan kesalahan dalam proses pembentukan legislasi tentu tidak dapat diterima.

Sebab, kesalahan itu bertentangan dengan prinsip kesaksamaan dan kehati-hatian yang harus dipegang teguh dalam praktik pembentukan hukum.

Diketahui, negara-negara yang menganut hukum sipil (civil law) seperti di Indonesia, yang sangat bergantung pada undang-undang dan penalaran hukumnya cenderung berdasarkan peraturan (rule-based).

"Tak perlu menjadi hakim konstitusi untuk menilai dan mengatakan bahwa kelalaian semacam itu adalah keteledoran yang tidak dapat diterima secara politik maupun secara akademik," pungkasnya.