Dua OTT Dinilai Tidak Sah, Pakar Hukum: KPK Jangan Sewenang-wenang!

Dua OTT KPK yang dilakukan dalam waktu nyaris bersamaan dinilai banyak terjadi kejanggalan.

Dua OTT Dinilai Tidak Sah, Pakar Hukum: KPK Jangan Sewenang-wenang!
Foto: Istimewa

MONITORDAY.COM - Kisruh Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Bupati Sidoarjo, Saiful Ilah dan Komisioner KPU, Wahyu Setiawan yang belakangan diduga ikut menyeret elite PDI Perjuangan belum juga reda.

Dua OTT KPK yang dilakukan dalam waktu nyaris bersamaan dinilai banyak terjadi kejanggalan. Salah satunya terungkap ketika penyelidik KPK tidak diperbolehkan masuk ke kantor DPP PDIP karena tidak mengantongi izin penggeledahan dari Dewan Pengawas KPK.

Menanggapi hal itu, ahli hukum dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, Dr Chairul Huda menegaskan jika dua OTT yang dilakukan KPK masih mengacu kepada UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinilai kebelinger. Pasalnya, saat ini yang berlaku adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.

"Dalam UU KPK yang baru, penyadapan harus mendapatkan izin Dewan Pengawas. Jika KPK berdalih penyadapan dilakukan sebelum Dewan Pengawas terbentuk, sedangkan pada sisi lain UU KPK resmi berlaku dan mewajibkan penyadapan harus mendapatkan izin Dewan Pengawas, maka bukti penyadapan yang dikantongi KPK tetap tidak sah," tutur Chairul Huda, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (14/1). 

"Sehingga kalau tersangka mengajukan gugatan Praperadilan, karena menganggap penyadapan, penggeledahan dan penyitaan tidak mengantongi izin Dewan Pengawas, penggugat berpotensi memenangkan gugatan. Karena seluruh bukti yang diperoleh KPK dari hasil OTT ikut menjadi tidak sah atas nama hukum," lanjut dia. 

Chairul menambahkan, KPK selama ini dinilai hanya cerdas memainkan membuat opini publik, seolah-olah ada OTT. Padahal KPK masih menggunakan cara-cara lama. Sebab UU KPK yang baru sejatinya mengevaluasi cara-cara lama untuk kemudian dilakukan perubahan dalam rangka penindakan dan pencegahan kasus korupsi.

"KPK juga semestinya memproses dugaan korupsi yang besar sebagaimana diamantkan UU baru bahwa potensi kerugian negara harus di atas Rp1 miliar. Jika pimpinan KPK baru masih melakukan penindakan kasus korupsi di bawah perintah UU, maka Pimpinan KPK yang baru tidak melakukan perubahan dan tidak melaksanakan perindah undang-undang," ungkap Chairul.

UU KPK baru juga mengorientasikan agar lembaga rasuah tersebut fokus pada penanganan kasus korupsi besar. Kasus korupsi yang nilainya di bawah Rp1 miliar bisa dilimpahkan kepada Kejaksaan dan Kepolisian. 

Terkait rumor bahwa Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) terkait dua OTT yang dilakukan masih diteken Agus Rahardjo Cs, maka Sprindik yang digunakan tidak sah. Sebab, lanjut Chairul dalam UU KPK baru, pimpinan KPK hanya pejabat administrasi bukan penegak hukum. Sedangkan pejabat KPK yang lama sudah purna tugas dan tidak memiliki kewenangan mengeluarkan kebijakan.

Lebih lanjut, Chairul juga menyesalkan sikap KPK yang dinilai mau melakukan penyegelan terhadap ruangan Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto. Ia beralasan bahwa dalam penyelidikan tidak boleh ada tindakan paksa. Sehingga tindakan petugas KPK melawan undang-undang dan bisa digugat secara perdata.

Selain itu, ia berpendapat jika kegiatan penggeledahan terhadap Rumah Dinas (Rumdis) Bupati Sidoarjo dan rencana penggeledahan di kantor DPP PDIP sebagai sikap yang melampaui kewenangan, karena izin penggeledahan belum diterbitkan Dewan Pengawas. Konsekuensinya, semua yang diperoleh KPK dari penggeledahan tersebut tidak sah menurut hukum. 

"Saya menyarankan agar penyelidik dan penyidik KPK belajar dengan benar terkait dengan prosedur penegakan hukum, baik penggeledahan dan penyitaan, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan atas kesewenang-wenangan KPK," tandas Chairul.