Dipandang Merusak Demokrasi, Turki Bakal Penjarakan Penyebar Berita Hoax

MONITORDAY.COM - Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menegaskan bahwa Negerinya bakal memenjarakan siapapun yang dengan sengaja menyebarkan berita hoaks via media sosial.
Berita hoaks di media sosial berpotensi merusa demokrasi. Ucapan Erdogan cukup beralasan karena imbas dari kebebasan berekspresi di medsos bisa berujung fatal.
Erdogan tampaknya mengamini sebuah ungkapan lama bahwa kebohongan yang diberitakan secara masif dan terus menerus dapat melahirkan sebauh kebenaran.
Hal ini dapat dibuktikan dengan agresi Amerika Serikat (AS) di Iraq. Dengan dalih mencari bom nuklir di negeri seribu satu malam, berita palsu pun disebar hingga membentuk opini publik dan kemudian membenarkan aksi AS meluluhlantakkan bumi Iraq.
Hal yang sama juga terjadi di Afghanistan, Libya dan sejumlah negara Arab yang mengalami pergolakan.
Keputusan AS yang gegabah bermula dari berita hoaks yang melegalkan aksi keji mereka.
Akibatnya, Pemerintahan Erdogan berencana membuat undang-undang untuk mengkriminalisasi penyebaran berita palsu dan disinformasi di media sosial.
"Media sosial, yang digambarkan sebagai simbol kebebasan ketika pertama kali muncul, telah berubah menjadi salah satu sumber utama ancaman bagi demokrasi saat ini,” kata Erdogan, dilansir Al Arabiya, Minggu (12/12).
Pada tahun lalu, Turki mengesahkan undang-undang yang mewajibkan platform media sosial dengan lebih dari 1 juta pengguna untuk memiliki perwakilan hukum dan menyimpan data di negara tersebut. Sejumlah perusahaan media sosial besar, termasuk Facebook, YouTube dan Twitter telah mendirikan kantor perwakilan di Turki.
Pemerintah Turki berencana membuat undang-undang baru yang akan menjerat pelaku penyebaran berita palsu dikenakan tindakan pelanggaran pidana. Pelaku terancam menerima hukuman hingga lima tahun penjara. Pemerintaj juga akan membentuk regulator media sosial.
“Kami mencoba melindungi orang-orang kami, terutama masyarakat yang rentan, dari kebohongan dan disinformasi tanpa melanggar hak warga negara untuk menerima informasi yang akurat dan tidak memihak," ujar Erdogan.
Sebagian besar perusahaan media besar Turki berada di bawah kendali pemerintah. Hal ini menyebabkan media sosial menjadi saluran penting bagi warga Turki maupun aktivis untuk menyuarakan perbedaan pendapat. Para kritikus menilai, rencana undang-undang baru tersebut merupakan upaya untuk memperketat kebebasan berbicara.
Laporan Freedom on the Net dari Freedom House, yang diterbitkan pada bulan September, menyebutkan bahwa Turki tercatat sebagai negara yang tidak bebas.
Laporan itu menyatakan, Turki menghapus konten yang kritis terhadap pemerintah dan menggugat orang-orang yang mengunggah komentar 'tidak diinginkan' di media sosial.