Didin Syamsudin: Memupuk Optimisme Para Petani
Para petani sulit naik kelas, bila hanya menanam padi.

SETIAP kali melihat hamparan padi yang menguning, hati Didin Syamsudin selalu terenyuh. Karena menurutnya, padi yang menguning dan menunduk berat, menjadi pertanda bahwa harapan para petani masih ada, termasuk orangtuanya.
Meminjam perkataannya Dr. Ir. Abdul Haris Mustari, seorang dosen IPB, bahwa daya tarik dan kesenangan pada padi bersifat universal, karena padi tetaplah tananaman yang terindah dan terpenting yang Tuhan ciptakan untuk ummat manusia.
Sayangnya kata Didin, harapan itu kini seolah menjadi harapan kosong. Karena bila dihitung-hitung apa yang dihasilkan para petani termasuk orangtuanya dari menanam padi tidak lagi cukup untuk menghidupi keluarga.
Menurut hitungan Didin, hasil panen yang dapat diperoleh oleh para petani di banten saat ini adalah sekitar 6 ton per hektarnya. Dengan biaya sekitar 12 juta perhektar, maka keuntungan yang akan didapat para petani adalah sekitar 10 juta per hektar permusim. Itu artinya dalam satu bulan, mereka hanya mendapat 3,3 juta. Jumlah ini tentu saja tidak cukup bagi petani, apalagi untuk keluarga besar seperti keluarga Didin.
Meski begitu, Didin tak lantas pesimis lalu memutuskan untuk mengikuti langkah para pemuda di desanya yang berhenti bertani dan memilih pergi ke kota untuk menjadi buruh atau karyawan di pusat perbelanjaan. Anak ketiga dari sepuluh bersaudara ini memilih untuk menambah ilmu pertaniannya dengan masuk ke SMKN 2 Pandeglang, dan mengambil jurusan Agribisnis Pembibitan dan Kultur Jaringan Tanaman.
Ketika itu, yang terpikir oleh Didin adalah bagaimana bisa meneruskan usaha orangtua, sekaligus meningkatkan penghasilan dari usaha tersebut. “Saya memilih pertanian, karena ingin membantu mengembangkan lahan orangtua. Saya berharap ketika itu bisa meneruskan usaha orangtua kelak di ladang,” kenang Didin Syamsudin.
Seperti umumnya para petani di daerah Banten, orangtua Didin juga menanam padi. Namun lama kelamaan, setelah padi dirasa tak lagi menjanjikan, Didin lalu mulai menyarankan orangtuanya untuk mencoba menanam buah (semangka dan melon) dan sayur mayur (kembang kol, caisim, timun, cabe, dan kacang-kacangan).
Dari hasil perhitungan dan pengkajian yang dilakukannya, Didin pun berkesimpulan bahwa dengan kondisi dan kebijakan pertanian yang ada, maka bertani padi menjadi kurang menjanjikan. Menurutnya, sulit bagi petani untuk menaikkan ekonomi keluarganya. Alihalih untuk menaikan level ekonomi, untuk bertahan saja sulit. “Para petani sulit untuk naik kelas. Karena itu, kami putuskan untuk mencoba tanaman sayur dan buah,” tutur Didin.
Sementara orangtuanya mulai menanam buah dan sayur, Didin terus belajar dan mencari tahu seluk beluk bertani sayur dan buah-buahan. Belasan kilometer harus ia tempuh untuk sampai ke SMKN 2 Pandeglang dan mendapatkan ilmu baru seputar pertanian.
Tekad Didin memang kuat, meski di awal orangtuanya tak begitu memberikan arahan. Pikir mereka ketika itu, agar anak-anak bisa menentukan sendiri mau kemana, dan tidak harus mengikuti jejak orangtuanya menjadi seorang petani.
“Orangtua saya awalnya tak mengarahkan harus kemana. Karena takutnya, anak-anak mereka tak mau jadi petani,” kenang Didin.
Menurut Ketua Bidang Taruna Tani KTNA ini, bersekolah di SMKN 2 Pandeglang itu seperti anugerah dan petunjuk. Karena setiap hari dirinya terus dipupuk dan disirami ilmu pertanian. Wawasannya menjadi bertambah, dan optimismenya makin menguat. Didin jadi makin yakin bahwa pertanian akan berkontribusi secara riil terhadap kesejahteraan.
Tak heran memang, bila seorang Thomas Jefferson dalam sebuah surat yang ia tulis untuk koleganya George Wahington mengatakan, “agriculture is our wisest puruit.” Tak sekadar itu saja, pertanian juga mambut seseorang menjadi lebih bahagia. Ini karena pada prinsipnya, pertanian itu meniscayakan moral yang baik, sehingga seseorang dapat hidup selaras dengan alam.
Didin dan keluarga merasakan betul manfaat bertani. Karena pertanianlah, semua kakak dan adik-adiknya bisa bersekolah dan melanjutkan hingga ke perguruan tinggi.
Kata Didin, ada perbedaan yang drastis ketika orangtuanya bertani sendiri dengan setelah dibantu anak-anaknya yang sekolah dan kuliah di bidang pertanian. Bila dahulu cara bertani mereka masih sangat tradisional, kini sedikit demi sedikit mulai modern.
“Dulu, orangtua belum memakai mulsa. Untuk pengairan juga masih system lama. Kini kami sudah menerapkan system tetesan tiap lubang,” tutur Didin.
Irigasi tetes (Drip Irigation) merupakan salah satu teknologi mutakhir dalam bidang irigasi yang telah berkembang hampir di seluruh dunia. Pada hakikatnya, teknologi ini sangat cocok diterapkan pada kondisi lahan kering berpasir, air sangat terbatas, iklim yang kering dan komoditas yang diusahakan memiliki nilai ekonomi yang tinggi.
Perbedaan lainnya, menurut Didin, adalah dari sisi penghasilan. Dari dua hektar tanah yang digarap, dalam satu tahun orangtuanya hanya mampu menghasilkan total keuntungan 100 juta saja. Setelah dibantu dan kontrak dengan perusahaan benih terpadu Indonesia, Panah Merah, dalam satu musim saja hasil yang didapat adalah sudah 100 juta. Sementara dalam satu tahun, bisa empat kali masa tanam.
Kini Didin, tengah berupaya menambah luas lahan yang digarapnya. Supaya lebih banyak petani di desanya yang bisa diberdayakan.
Sebelum memutuska bertani sendiri, Didin sebetulnya sempat bekerja di perusahaan pembenihan Panah Merah selama 3 tahun. Lalu pindah ke Pusri Palembang selama setahun. Tak lama kemudian, ia kembali pindah ke perusahaan pestisida Rainbow di Banten. Terakhir di BSF perusahaan pestisida awal tahun 2017, karena mengawali kontrak melon golden dengan Panah Merah, Didin akhirnya memutuskan untuk risign dari tempatnya bekerja.
Rupanya, keputusan berhenti kerja tak sia-sia. Karena kontrak pertamanya dengan Panah Merah untuk menanam Melon Golden sukses besar. Pihak Superindo pun memberi tantangan baru, dengan memintanya menyuplai melon golden sebulan atau seminggu sekali.
Meski sudah sukses, Didin belum berpikir untuk mengubah langgam dan caranya bertani saat ini. Misalnya dengan menerapkan berbagai macam teknologi pertanian. Sebaliknya, Didin justru berusaha menghindari pemakaian terlalu banyak teknologi.
Pikirnya sederhana saja, jika teknologi diterapkan ke hampir semua proses penanaman maka tentu aka nada banyak petani di desanya yang taklagi dibutuhkan jasanya. Sepeti diketahui untuk satu musim, Didin saat ini mempekerjakan 6 orang petani muda di desanya.
“Saya sadar betul, soal perkembangan teknologi pertanian yang maju pesat. Namun saya juga sadar bila para petani muda di desa saya masih butuh untuk cari makan. Saya tak akan bisa sampai hati, mengganti tenaga mereka dengan mesin dan teknologi,” ujarnya.