Di Kopi Pahit MMG, Direktur Pencegahan BNPT Kisahkan Masa Lalunya

MONITORDAY.COM - Direktur Pencegahan di Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Republik Indonesia(BNPT-RI), Brigadir Jenderal (Brigjen) Polisi, R. Achmad Nurwakhid, mengatakan potensi radikalisme tidak mengenal latar belakang pendidikan, pekerjaan bahkan agama.
Nurwakhid saat menjadi pembicara di Kopi Pahit Monday Media Group (MMG) dengan tema " Penanggulangan Terorisme di Era Digital", Rabu (30/3/2022) mengisahkan jika ia pernah terpapar paham radikalisme tingkat tinggi sekitar pertengahan tahun 1995.
Karier Jenderal bintang satu ini dilalui dengan lika-liku karir yang berwarna. Tidak monoton. Bagaimana tidak, dinas pertamanya di kota Surabaya, tahun 1991-1992.
Direntang tahun tersebut Nurwahid sudah dipercaya sebagai komandan pleton Taruna Akpol, selanjutnya menjabat Komandan Pleton Candradimuka di Magelang dan dinobatkan sebagai Kapolsekta Salatiga Utara.
Saat menjabat sebagai Kapolsek Banjarsari Solo pada akhir tahun 1994, dasar keagamaan Nurwakhid muda sangat bergelora. Ia bahkan menjadi santri Pesantren Pondok Al Mukmin Ngruki.
Tahun 1990-an, pondok pesantren pimpinan Abu Bakar Ba’asyir ini tidak saja mendidik sebagai muridnya santri agama saja, namun juga diberi kekuatan fisik berupa latihan semi militer.
“Saya secara informal mondok di sana. Setiap pekan kami mengikuti kajian-kajian agama. Termasuk, ekstrakurikuler semi militer tersebut. Saat itu fenomena radikalisme dan terorisme belum santer di Indonesia. Pemerintah belum peduli akan ancaman radikal terorisme yang berselubung agama,” ungkap Nurwakhid
Saat terjadi peledakan Bom Bali pertama tahun 2002, baru ketahuan kalau yang melakukan sebagian besar adalah alumni pesantren Al Mukmin Ngruki. Amir atau pemimpinnya adalah Abu Bakar Ba’asyir, yang selama ini menjadi panutan dalam setiap kajian-kajian agamanya.
Dijelaskan Nurwakhid, saat itulah Pemerintah Indonesia sadar dan mulai muncul perhatian serta kepedulian terhadap radikalisme dan terorisme. Pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Saat itu, Nurwakhid muda yang kerap mengikuti pengajian agama di Pesantren Al Ngruki, sudah masuk pada fase transisi. Seorang polisi muda yang haus akan ilmu agama, namun salah dalam memilih guru dan tempat belajar. Bukannya ilmu agama bertambah, malah terjerumus dalam paparan paham radikalisme dan terorisme.
Nurwakhid muda kala itu sudah melakukan sumpah bai’at, sudah melakukan liqo (pertemuan) dan melakukan i’dat (latihan perang) di Tawangmangu. Karena, “kesibukannya” inilah Nurwahid kerap tidak masuk kantor dan meninggalkan tugas-tugasnya sebagai pengayom masyarakat.
Akhirnya, ia dipindah ke Polda Jawa Tengah. Namun, di tempat barunya pun, kebiasaan Nurwahid tidak berubah. Ia masih sering melakukan perjalanan ke Tawangmangu dan Solo, untuk mengikuti kajian berbagai kajian dan cuci otak ala teroris.
“Sekiranya saat itu telah terbit UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tentu saya sudah ditahan oleh Densus 88 Anti Teror. Karena saya pasti sudah dikategorikan sebagai seorang teroris. Karena niatan saya sudah sampai pada titik ingin berangkat ke Afganistan. Belakangan saya tahu kalau saya telah masuk dalam jaringan Jamaah Islamiyah,” kenangnya.
Negara Afganistan dipilih karena dinilai menjadi ladang jihad yang paling potensial. Saat itu, Uni Soviet sedang jatuh dan terjadi perebutan kekuasaan antara berbagai fraksi disana seperti Taliban, Mujahiddin dan sebagainya.
Karena tidak pernah masuk kantor, akhirnya Nurwahid dikenakan sidang disiplin. Namun bukan disidang karena paparan radikalisme dan terorisme. Saat itu pemerintah, ujar Nurwahid, belum mengerti tentang konsep radikalisme-terorisme. Institusi negara seperti TNI dan Polri pun belum memetakan potensi dan bahayanya. Akhirnya, Nurwahid disidang dengan dugaan indisipliner.
“Para pimpinan saya yang akan menyidang hanya tahu jika Nurwahid seorang yang fanatik. Mereka tidak tahu jika saya sudah terpapar radikalisme tingkat tinggi. Mereka tahunya, saya senang berontak, senang protes, pokoknya macam-macamlah. Saat sidang disiplin, saya sempat melawan. Bahkan, saya menggebrak meja. Sehingga hukuman saya ditambah dari indisipliner ditambah insubordinasi, melawan pimpinan. Dan akhirnya saya ditahan selama 21 hari,” ingatnya.
Nurwahid menjelaskan, tipikal dan karakter orang radikal adalah sensitif, temperamen, merasa benar, apalagi jika yang dihadapi adalah orang kafir. Maka kelompok radikal ini akan selalu mengatakan “darahnya halal untuk ditumpahkan”.
Karena setiap orang yang tidak sepaham dengan kelompok mereka akan dikatakan kafir. Begitupun dengan orang non muslim. Negara ini, dianggap thagut (negara sesat). Polisi sebagai perangkat negara juga dianggap pengarkat yang sesat dan kafir.
Penghujung paparannya, Nurwakhid menegaskan BNPT terus berupaya meningkatkan daya Tangkal terhadap pengaruh penyebaran paham tersebut dengan pencegahan yang dilaksanakan dengan tiga pendekatan kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi dan deradikalisasi.
Untuk mewujudkan hal tersebut, perlu adanya kerjasama dari berbagai Lini sektor mulai dari pemerintah tokoh agama dan tokoh masyarakat yang diharapkan dapat mempengaruhi dan membawa pesan-pesan positif di tengah lingkungan masyarakat, para pemimpin daerah dan masyarakat untuk memberikan pemikiran pemikiran moderat agar dapat menyebarkan narasi perdamaian untuk meredam masuknya paham intoleran radikalisme.
"Keberadaan peran para pemimpin daerah dan Masyarakat khususnya para tokoh dinilai memiliki posisi yang sangat strategis untuk dapat berinteraksi dengan masyarakat dengan mempertimbangkan persamaan persepsi dan kedekatan emosional yang sama sehingga pemimpin daerah dan para tokoh dinilai sangat mudah diterima kehadirannya oleh masyarakat untuk menyampaikan pesan-pesan agama dengan mencerminkan keagamaan yang beradab, keadilan dan kasih sayang, kedamaian dan keselamatan untuk saling menghargai perbedaan dalam semangat toleransi," pungkas Nurwakhid.