Desentralisasi Kekuasaan dan Inovasi Kreatif
Membangun Indonesia ibarat tenunan 2 arah. Dari pusat dan daerah dengan masing-masing berbasiskan prestasi beserta inovasi dan kreativitas.

MONDAYREVIEW.COM - Setelah tumbangnya Orde Baru, salah satu isu yang mencuat yakni otonomi daerah beserta desentralisasi kekuasaan. Daerah ingin berperan lebih aktif dalam pembangunan, bukan sekadar obyek pembangunan yang pasrah dengan skema dan pembagian dari pusat. Maka di era pemerintahan BJ Habibie, otonomi daerah pun digalakkan. Hingga saat ini kita bisa memetik buah baik dan buah buruk dari otonomi daerah.
Dari perspektif kebaikan, otonomi daerah memberikan keleluasaan pada daerah untuk menyusun dan menggunakan anggaran yang ada. Dalam perkembangannya, terdapat Dana Desa dimana desa-desa di Indonesia diberikan kesempatan untuk memajukan desanya sesuai dengan kondisi alam dan situasi sosial. Dalam konteks pilkada DKI Jakarta, kandidat AHY-Sylviana Murni menjanjikan anggaran bagi RT/RW untuk membangun dan berkreasi di wilayahnya masing-masing.
Dengan narasi tersebut sesungguhnya telah terjadi desentralisasi kekuasaan. Dimana pusat relatif hanya melakukan supervisi dan pengawasan. Daerah diharapkan dapat inovatif dan kreatif membangun wilayahnya. Dengan begitu otonomi daerah telah memberi peluang bagi putra, putri terbaiknya untuk berkarya di daerah. Maka bermekaranlah sejumlah nama pimpinan daerah seperti Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, Wali Kota Bandung Ridwan Kamil, Bupati Bojonegoro Suyoto, Bupati Kabupaten Bantaeng Nurdin Abdullah, Bupati Batang Yoyok Riyo Sudibyo, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini.
Para pejabat di daerah tersebut merupakan contoh teladan bagi eksekutif yang berhasil mendatangkan kebaikan bagi orang banyak. Inovasi dan kreativitas mereka nyata terasakan di domain kekuasaannya serta mampu memberi inspirasi bagi daerah lainnya. Dengan demikian membangun Indonesia ibarat tenunan 2 arah. Dari pusat dan daerah dengan masing-masing berbasiskan prestasi beserta inovasi dan kreativitas.