Dekan FAI UMC: Benang Kusut Penyaluran Bansos Hingga Dinamika DTKS

Dekan FAI UMC: Benang Kusut Penyaluran Bansos Hingga Dinamika DTKS
Dekan FAI UMC, Aip Syarifudin saat paparkan materi DTKS (Dok: Monitorday.com)

MONITORDAY.COM - Dekan Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Muhammadiyah Cirebon (UMC) Aip Syarifudin mengatakan, persoalan pendataan bantuan sosial hingga potensi kerawanan lainnya berpangkal dari masalah pendataan, salah satunya Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang tidak terbaharui sesuai data kependudukan, serta minimnya informasi tentang penerima bantuan.

"DTKS yang ada saat ini jadi rujukan bersama untuk mengeksekusi berbagai kebiajakn bantuan pemerintah seperti Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS), Penerima Bantuan dan Pemberdayaan Sosial serta Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS)," ucap Dekan FAI yang akrab disapa Aip saat menjadi narasumber Pengelolaan DTKS di Seminar dan FGD bersama Pusat Kajian Aktubilitas Keuangan Negara (PKAKN) BK DPR, Selasa (27/4/2021). 

Menurut Aip, output DTKS yang menjadi berkah saat ini bagi pemerlu, bisa jadi adalah potensi persoalan masa depan. Sangat disayangkan jika bantuan tersebut di gelontorkan dengan durasi yang cukup lama, terlebih dengan data yang lama, jika itu terjadi, maka akan menimbulkan adiksi baru.

"Adiksi baru dalam konteks ini, adalah persoalan mental,  kecanduan menerima bantuan. Karena setiap kali ada bantuan, akan ada saja mental mental  pasti paling terdepan mengklaim diri sebagai penerima manfaat atau pemerlu," jelas Aip.

Dengan demikian, tugas pemerintah ke depan bukan lagi pada ketepatan permasalahan pemberian bantuan saja, melainkan juga membina mental mental masyarakat yang sudah mampu secara ekonomi agar siap tidak menerima bantuan alias tidak ada adiksi bansos.

Ini akan sangat membantu pemerintah untuk mengontrol bantuan agar bertepat guna dan berdaya guna, sehingga tidak ada kebocoran anggaran karena benar benar tepat tersalurkan.

Aip memberikan apresiasi kepada Kabupaten dan Kota Cirebon atas capaian pemutakhiran DTKSnya. 

Aip kemudian mengutip data yang disampaikan Kepala Pusat Kajian Akuntabilitas Negara BK DPR RI yang memaparkan data analisnya yang merujuk pada hasil cleansing data BPKP Provinsi Jawa Barat terhadap data yang harus diperbaiki per 22 April 2021, presentase data yang sudah diperbaiki di Kota Cirebon sebanyak 18.131 atau 99,25% dari total data yang harus diperbaiki sebannyak 18.268.

Sementara untuk Kabupaten Cirebon data yang sudah diperbaiki sebanyak 151.490 atau 88,86% dari total data yang harus diperbaiki sebanyak 170.481. 

Kendati demikian, Aip mengimbau kepada pemangku kebijakan agar tidak cepat puas dengan angka-angka tersebut.

Aip lantas menukil pernyataan Wali Kota Cirebon yang menyebutkan, persentase penduduk miskin di Kota naik pada 2020 menjadi 9,25%.  Selain kemiskinan, pengangguran terbuka pun meningkat dari 8,98% pada 2019 menjadi 10,97% pada 2020. Tak hanya itu, pandemi telah menurunkan indeks pembangunan manusia (IPM) Kota Cirebon pada 2019 dari 74,92, poin menjadi 74,89 poin pada 2020. Senada, laju pertumbuhan ekonomi (LPE) Kota Cirebon juga turun dari 6,29% pada 2019 menjadi -0,99% pada 2020.

Bagaimana dengan Kabupaten Cirebon, angka kemiskinan di Kabupaten Cirebon mengalami peningkatan sekitar 1,3 persen. 

Peningkatan angka kemiskinan ini pun tidak hanya disalahkan karena pandemi. Pemda setempat, ujar Aip, ada baiknya menelaah problem sosial jauh sebelum pandemi.  

Dekan Milenial ini pun mengakui bahwa dalam mengurus negara, tidak ada persoalan yang lebih besar, selain persoalan kemiskinan. 

" Ragam problematika kemiskinan menjadi catatan penting bagi setiap elemen bangsa. Jangan terbuai dengan data, negara harus harus resapi kondisi ini," imbuh Aip. 

Mengakhiri paparannya, Aip merujuk pernyataan socrates bahwa kesejahteraan memberikan peringatan, sedangkan bencana memberi nasihat. 

"Ada persoalan besar yang mesti dituntaskan, bagaimana caranya tidak ada lagi penerima bantuan di negeri ini," harap Aip.