Darurat Sipil Untuk Tekan Penyebaran Covid-19 Dinilai Blunder

Darurat Sipil yang digaungkan Presiden Joko Widodo dalam rangka mendukung kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam menekan penyebaran virus corona atau Covid-19 menuai polemik dan blunder.

Darurat Sipil Untuk Tekan Penyebaran Covid-19 Dinilai Blunder
Darurat Sipil /net

MONITORDAY.COM - Darurat Sipil yang digaungkan Presiden Joko Widodo dalam rangka mendukung kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam menekan penyebaran virus corona atau Covid-19 menuai polemik. Terlebih berdasarkan peraturan Undang-undang, status Darurat Sipil masuk dalam UU Nomor 23 Perppu Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. 

Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada, Dr Oce Madril kepada awak media, senin (30/3/2020) menilai, kebijakan Darurat Sipil tidak tepat diterapkan untuk mendukung PSBB dalam menekan penyebaran virus corona. 

Menurutnya, ada tiga keadaan bahaya yang mendasari penggunaan Perppu 1959 yakni Darurat Sipil, Darurat Militer dan Darurat Perang. Sehingga, tidak salah ketika era Orde Lama menggunakan Perppu tersebut untuk mengendalikan situasi.

"Syarat-syarat keadaan bahaya dengan berbagai tingkatan darurat itu ada dalam Pasal 1 Perppu; semua mengarah pada terancamnya keamanan/ketertiban oleh pemberontakan, kerusuhan, bencana, perang, membahayakan negara, tidak dapat diatas oleh alat perlengkapan negara secara biasa," ujarnya. 

"Wajar arah aturannya begitu karena ditetapkan pada masa-masa banyak peristiwa yang mengancam kemanan/pertahanan negara waktu itu (tahun 1959), era Orde Lama," tambahnya. 

Penerapan Darurat Sipil, kata Oce, seharusnya Jokowi bisa menggunakan regulasi lain sebagai dasar untuk mendukung PSBB. Salah satunya adalah UU Penanggulangan Bencana tahun 2007 dan UU Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang dibuat oleh Jokowi sendiri. 

"Ada pilihan-pilihan mekanisme dalam kedua UU tersebut untuk mengatasi Darurat Bencana dan masalah wabah. Mekanisme dalam kedua UU itu jauh lebih 'sipil' daripada Darurat Sipil menurut Perppu 1959," jelasnya.

"Entah mengapa yang keluar justru gagasan Darurat Sipil berdasarkan Perppu 1959. Apa karena beban tanggung jawab pemerintah yang berat dalam UU Karantina Kesehatan, seperti yang sudah beredar, menanggung kebutuhan dasar rakyat? Kalau pakai Perppu memang enggak ada bebannya," lanjutnya.

Dia lantas menyoroti jika Darurat Sipil yang nanti diterapkan merujuk Perppu 1959, akan bertolak belakang dengan penanganan Darurat Bencana. Sebab dalam Perppu itu dimaksudkan penertiban dengan dasar menjaga keamanan dan ketertiban umum.

"Jadi Darurat Sipil ala Perppu 1959 ini arahnya ke 'penertiban' dengan dalih keamanan/ketertiban umum, sementara Darurat Bencana atau Darurat Kesehatan ala UU 24/2007 dan UU 6/2018 arahnya ke 'menjamin kebutuhan dasar rakyat'," tutupnya.