Dakwah dan Kekuasaan

Seorang penguasa memiliki tanggungjawab terhadap kualitas umatnya

Dakwah dan Kekuasaan
ilustrasi foto

“Jika penguasa korup, maka korupsi akan menjadi trend di kalangan para pengikutnya, atau umatnya.” Dengan adagium ini, saya sama sekali tidak bermaksud untuk menyebut penguasa kita saat ini korup. Tapi semata-mata mengingatkan, bila seorang penguasa memiliki tanggungjawab terhadap kualitas umatnya. Adagium tersebut, juga menjelaskan, bila aktivitas dakwah juga sebetulnya menjadi tanggungjawab penguasanya.

Keruntuhan dan kemakmuran suatu bangsa sangat bergantung pada perilaku dan etika berkuasa pemimpinnya. Sejarah mencatat, rentetan penguasa yang adil seperti Azdasir, Apridon, Bahram Kur, Anusyrwan dan yang akrab di telinga kita, yakni Nabi Sulaiman. Sejarah juga mencatat para penguasa jahat yang menyengsarakan rakyatnya seperti di masa Barazdakanka, Aprosiyab, dan masa adh-Dhahhak atau juga yang sering kita dengar, yaitu Fir’aun. Catatan sejarah ini tentu saja akan terus berjalan dan merekam jejak para penguasa.

Suatu ketika, Imam Ghazali diminta untuk memberikan nasihat kepada Sultan Muhammad bin Malik, seorang penguasa dari Bani Saljuk. Ia pun bangkit, lalu berkata, “Wahai Sultan, penguasa Timur dan Barat, hendaklah engkau menyadari bahwa Allah telah memberikan nikmat yang nyata dan karunia yang banyak. Oleh karena itu, engkau wajib mensyukurinya, menyiarkan dan sekaligus menebarkannya. Siapa saja yang tidak bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah, maka dia akan kehilangan nikmat tersebut, dan di akhirat kelak akan menyesal telah menyia-nyiakannya. Seluruh kenikmatan akan hilang dengan datangnya kematian.

Bagi orang yang berakal dan cerdik, kenikmatan bukanlah sesuatu yang ada nilainya dan bukan merupakan hal yang penting. Sebab, umur manusia, meskipun panjang, tidak akan bermanfaat jika telah berakhir. Oleh karena itu, kenikmatan yang kekal dan terus menerus sepanjang siang dan malam adalah nikmat keimanan yang merupakan benih kebahagiaan abadi dan kenikmatan yang kekal.

Allah yang Maha sempurna telah memberi engkau kenikmatan ini dan menanamkanya ke dalam dadamu yang jernih, sekaligus meletakkannya di hati dan jiwamu. Allah telah menempatkanmu di lahan benih tersebut, menyuruhmu menyiraminya dengan air ketaatan hingga akar pohonnya kokoh di dalam tanah dan cabangnya menjulang tinggi, sebagaimana firman Allah Swt. yang artinya: “Tidakkah engkau perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kokoh dan cabangnya menjulang ke langit.” (Ibrahim [14]: 24)

Imam Ghazali dalam penggalan kisah tersebut menjelaskan bahwa kekuasan seorang pemimpin tak akan lekang dihantam zaman dan tak akan runtuh diserbu musuh selama ia memegang etika berkuasa dan berpijak pada pokok-pokok keadilan serta selalu mereguk mata air keimanan.

Apa yang dimaksud Imam Ghazali dengan pohon keimanan dan mata air keimanan? Ya, mungkin pertanyaan ini yang sekarang muncul dalam benak Anda atau siapa pun yang membaca penggalan kisah tersebut.

Pembaca, sungguh indah kalimat hikmah yang diuntaikan beliau, menurutnya, pokok-pokok keadilan tersebut seumpama pohon yang baik, yang akarnya kokoh dan cabangnya menjulang ke langit. Ketahuilah, bila akar tersebut adalah keyakinan dalam hati (iman) dan cabangnya adalah perbuatan dengan anggota tubuh (akhlak). Sementara yang dimaksud mata air keimanan adalah mengenal dunia dan kematian. Segala yang kita miliki di dunia adalah nikmat dari Allah dan akan kembali kepada Allah. Kematian, merupakan pertanda bila nikmat yang kita raih di dunia itu hanyalah sesaat dan tidak kekal. [ ]