Bukan Tirani Senjata, Tapi Tirani Pikiran
Jika disimak pada masa pemerintahan kolonial Belanda, tirani pikiran ini nyata terjadi sehingga para tokoh bangsa hingga harus menggunakan nama pena dalam tulisannya.

MONDAYREVIEW.COM – Demokrasi substansial memberikan ruang yang leluasa bagi warga negara untuk mengartikulasikan pikirannya. Secara konstitusi hal tersebut diatur di Pasal 28 UUD 1945 yakni “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan atau tulisan, dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.
Dalam lanskap kehidupan bernegara, cengkeraman teror tak hanya dalam bentuk kekerasan bersenjata, melainkan juga berbentuk tirani pikiran. Jika merujuk pada novel 1984 didapati hal berikut:
Tidak mengherankan, karena Polisi Pikiran, teleskrin, dan mikrofon tersembunyi membuat privasi hanya serupa fantasi. Bahkan, sejarah ditulis ulang sesuai kehendak Partai. Negara berkuasa mutlak atas rakyatnya. Yang berbeda atau bertentangan akan segera diuapkan,
Setiap gerak warga dipelajari, setiap kata dari yang terucap disadap, dan setiap pemikiran dikendalikan.
Cengkeraman terhadap pemikiran diantaranya dapat terlihat manakala warga negara tidak merdeka dalam menyatakan pikirannya baik lisan dan tulisan. Jika disimak pada masa pemerintahan kolonial Belanda, tirani pikiran ini nyata terjadi sehingga para tokoh bangsa hingga harus menggunakan nama pena dalam tulisannya. Sukarno memiliki nama pena Bima, Natsir memiliki nama pena A.Moechlis merupakan sekelumit contohnya.
Tirani pikiran juga dapat ditunjukkan manakala keragaman pemikiran diterabas. Pemikiran yang berbeda dimasukkan dalam kotak seolah berbahaya dan mengancam kesatuan dan keutuhan negara. Dalam konteks Indonesia, ragam pemikiran yang ada tentu harus dipulangkan kepada Pancasila dan UUD 1945 apakah sejalan atau bertentangan.