BPS: Rumah Tangga Miskin Sebagian Besar Berasal dari Sektor Pertanian

MONITORDAY.COM - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa rumah tangga miskin di Indonesia pada 2020 sebagian besar berasal dari sektor pertanian.
"Kalau dilihat sumber utama dari rumah tangga miskin di Indonesia adalah pertanian. Jadi ini merupakan beberapa PR yang perlu kita perhatikan" kata Kepala BPS, Kecuk Suhariyanto, dalam diskusi virtual Rabu (17/2/2021).
Dia menjelaskan, persentase rumah tangga miskin yang bekerja di sektor pertanian sebesar 46,30 persen, sedangkan rumah tangga miskin lainnya, yakni di industri sebesar 6,58 persen; dan lainnya 32,10 persen.
Suhariyanto mengungkapkan, meski kontribusi pertanian terhadap PDB cukup besar, yakni 13,7 persen, beban akibat bertambahnya tenaga kerja menjadi persoalan yang dihadapi di sektor ini.
"Ketika share PDB hanya 13 persen, sementara harus menanggung 29,76 persen, tidak bisa dibayangkan beban pertanian menjadi berat. Harus diperhatikan bahwa produktivitas pertanian juga akan semakin menurun," jelas dia.
BPS mencatat, sepanjang 2020, sektor pertanian memang berhasil tumbuh positif sebesar 1,75 persen, di saat yang bersamaan pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kontraksi 2,07 persen.
Selain itu, pertanian juga merupakan satu dari tujuh sektor yang tumbuh positif, sedangkan 10 sektor lainnya mengalami kontraksi. Dalam struktur PDB Indonesia, kontribusi sektor pertanian menyumbang cukup besar, yakni 13,7 persen.
Kemudian, ekspor pertanian selama pandemi juga menunjukkan kinerja positif sebesar 14,03 persen, sementara di sisi lain total ekspor keseluruhan mengalami kontraksi 2,61 persen.
Meski demikian, menurut Suharianto, sektor pertanian mengalami sejumlah persoalan, seperti meningkatnya pengangguran menyebabkan terjadinya pergeseran (shifting) tenaga kerja ke sektor pertanian. Hal itu berpotensi meningkatkan beban dan menurunnya produktivitas di sektor pertanian.
Selain itu, upah riil buruh tani juga menjadi persoalan yang dihadapi petani, karena upah riil hanya meningkat tipis sekali dari waktu ke waktu akibat inflasi.
"Daya beli buruh tani menjadi sangat rendah sekali. Akibatnya, buruh tani menjadi tidak menarik, banyak yang pindah ke buruh bangunan yang nominalnya lebih tinggi," kata Kecuk Suharianto.