Berdamai dengan Covid-19

Pemilihan kata "damai" disini tidak dibayangkan dengan duduk dimeja bersama Covid-19 bersama dengan jajarannya kemudian melakukan sejumlah protokol perdamaian. tentu sangat naif.  Lantas Apa?

Berdamai dengan Covid-19

MONITORDAY.COM - Mendengar Virus Corona atau Covid-19, publik sudah sangat heboh. Apalagi narasi pemberitaan yang disuguhi baik cetak dan elektronik tidak jarang membuat masyarakat sudah paranoid terlebih dahulu. Ada yang bersendawa, batuk, merasa pusing atau demam. Sontak, dikaitkan dengan suspect dengan virus tersebut. 

Bisa dibayangkan, bagi mereka yang sudah memiliki penyakit bawaan dan berusia 60 hingga 70 tahun yang harus dirawat di Ruamh Sakit, tentu sudah menduga-duga masuk dalam kategori orang dalam pengawasan. Rasa was-was, gundah gulana berkecamuk menjadi satu. Boleh jadi, mempercepat lonceng kematian yang sebenarnya belum terjadi.

Kita sepakat epidemi virus korona saat ini membuat siapaun menjadi khawatir karena korban akibat Covid-19 semakin bertambah, jumlah angka kematian dari statistik dunia pun menunjukan angka peningkatan. Lalu, kata kematian menjadi momok yang sangat ditakuti. Sangat alami dan bisa dimengerti jika memang kematian adalah bagian yang tak terhindarkan dari siklus hidup, banyak dari kita yang sulit menerimanya apalagi berdamai dengannya.

Terbesit dalam benak kita semua, sudikah kita berdamai dengan Covid-19? pemilihan kata "damai" disini tidak dibayangkan dengan duduk dimeja bersama Covid-19 bersama dengan jajarannya kemudian melakukan sejumlah protokol perdamaian. tentu sangat naif. 

Namun "Kata Damai" yang dimaksud disini adalah menghadapi secara bijak. Seperti diketahui, setiap negara memiliki kebijakan berbeda-beda dalam merespons wabah Covid-19. Apa pun kebijakan yang diambil, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyarankan agar dilakukan dengan cepat dan agresif. 

Setiap negara punya strategi berbeda dalam menghadapi penyebaran virus corona. Tiongkok, pusat awal wabah virus ini, mengisolasi secara penuh atau sebagian 15 kota di Hubei mulai dari tahun baru Imlek hingga 10 Maret 2020. Alhasil, jumlah kasus barunya secara harian kini terus turun.

Langkah ini pun diikuti Italia. Pemerintahan Guiseppe Conte memutuskan isolasi seluruh negara mulai 9 Maret 2020. Sebelumnya isolasi hanya dilakukan di 11 kota di Provinsi Lombardy dan Veneto. Namun, total kasusnya masih terus melonjak. Sebanyak 69,2 ribu kasus Covid-19 tercatat di Italia hingga Rabu (25/3/2020),

Sementara strategi berbeda dilakukan Korea Selatan. Negara ini melakukan pemeriksaan massal dan gratis untuk menahan laju penyebaran virus corona. Dalam sehari, sekitar 15 ribu orang dites di 50 titik bersistem drive-through. Masyarakat juga memiliki akses informasi terkait riwayat perjalanan pasien terinfeksi sehingga bisa menghindari area-area tersebut.

Penanganan di Vietnam dan Taiwan sudah dimulai dari pencegahan dini pada tahap awal wabah Covid-19, seperti persiapan koordinasi yang jelas dan fasilitas kesehatan yang memadai. Total kasus di dua negara itu pun kini masih di bawah 300 kasus, dengan 12-13 persen di antaranya dinyatakan sembuh. Vietnam bahkan belum melaporkan adanya korban meninggal dunia.

Lantas bagimana dengan kebijakan Pemerintah Indonesia berdamai dengan Covid-19, tampaknya belum ada satu suara. Pemerintah Joko Widodo dengan tegas mengatakan karantina wilayah tidak perlu namun Social Distancing dan Phsyical Distancing secara masif lah yang tepat. 

Namun kabarnya, Provinsi Papua dan Kabupaten Tegal punya cara berbeda dengan pemerintah pusat. Kedua daerah ini lebih memilih opsi karantina wilayah mengingat sejumlah konsekwensi yang harus dihadapi. Tampaknya sejumlah daerah pun mulai gusar mengingat korban mulai berjatuhan akibat Covid-19. 

Tak dipungkiri, kebijakan pemerintah pusat juga beralasan mengingat opsi lockdown atau karantina wilayah berimbas pada ekonomi. Seperti diketahui, hutang pemerintah semakin bertambah, dengan adanya bencana ini, Presiden Joko Widodo makin menggerutkan dahinya mengingat harga yang dibayar untuk lockdown ini sangat besar.

Apa betul alasan ekonomi? Publik pun bertanya, Pemerintah getol menyiapkan dana untuk pemindahan ibu kota baru. Penting mana? nyawa manusia atau dana buat ibukota baru. Apresiasi diberikan tapi ambisi tersebut juga harus rasional karena buat apa kejar legacy jika harus berujung pada jatuhnya korban yang tak bisa dibendung. 

Majelis Ulama Indonesia memilih opsi damai dengan Covid-19 dengan cara Total Lockdown, darimana dananya? MUI serukan dana pemindahan Ibukota dialihkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat karena dampak lockdown. 

Tampaknya ide MUI buat panas kuping inisiator pemindahan ibukota. Tapi kita tunggu saja sejauh mana berbagai narasi Pemerintah yang diikuti dengan laporan kematian yang setiap hari ditayangkan di media. Publik saat ini butuh Proposal Damai yang akan ditetapkan di Negeri 621 ini, seperti apa?