Belajar Hidup Minimalis dari Rasulullah

Belajar Hidup Minimalis dari Rasulullah
ilustrasi rumah rasulullah/net

MONITORDAY.COM - Bukankah segala sesuatu yang ada di dunia ini hanyalah materi yang akan hancur? Kita lihat saja diri kita, bukankah jasad yang kita tempati sekarang akan membusuk kemudian? Tidak ada yang benar-benar milik kita di dunia ini. Allah hanya memberi kita hak guna pakai bukan hak milik. Sejatinya, Allah-lah Sang Maha Pemilik.

Materi biasa disimbolkan dengan harta. Sejumlah ayat Al-Quran menyebutkan bahwa harta hanyalah titipan yang sewaktu-waktu bisa diambil pemiliknya. Telinga kita tentu akrab dengan kalimat istirja’, innalillaahi wa inna ilaihi raaji’uun. Kalimat istirja’ tersebut merupakan ayat 156 Surah Al-Baqarah yang artinya, “Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali.”

Kalimat istirja’ mendidik untuk tidak tergila-gila terhadap sesuatu yang menjadi milik kita. Karena kita milik Allah. Saat meninggal, hanya kain kafan yang kita bawa. Pasangan, keturunan, rumah, mobil semuanya akan kita tinggalkan.

Atas dasar itu, Rasul SAW memberi teladan kepada kita untuk menjalani hidup minimalis. Gaya hidup minimalis adalah gaya hidup sederhana, merasa cukup dan tidak berlebihan. Biasanya lebih memperhatikan kualitas dibanding kuantitas.

Mungkin kita menyangka bahwa seorang pemimpin itu hidup enak, dilayani, disediakan, punya segala hal. Tapi tidak dengan pemimpin kita, Rasulullah SAW. Kehidupan beliau hanya sebatas pada kecukupan. Satu rumah cukup untuk beliau, satu sandal cukup untuk beliau.

Diceritakan bahwa suatu hari Umar bin Khathab menangis saat tau Rasulullah hanya tidur di atas sebuah tikar. Umar mempertanyakan hal tersebut, bagaimana mungkin seorang Rasul, seorang pemimpin hidup sesederhana itu. Sementara Raja Romawi hidup bermewah-mewahan dan bergelimangan harta.

Jawaban Rasul sungguh mengagumkan, “Tidakkah engkau senang wahai Umar, jika kita dapat memperoleh kebahagiaan akhirat, sedangkan mereka (raja dan kaisar) memperoleh kenikmatan dunia?”

Kalimat indah yang disampaikan Rasul di atas sudah cukup merepresentasikan bagaimana seharusnya kita hidup di dunia. Yaa, dengan hidup minimalis. Hidup hanya dengan yang kita butuhkan saja. Bukan kuantitas yang menjadi tolok ukurnya, tapi tercukupinya urgensitas kebutuhan dasar kita, seperti pakaian, tempat tinggal dan makanan. Selebihnya, tidak lain hanya kebutuhan tersier yang tidak benar-benar kita butuh.

Rasulullah SAW adalah seminimalis-minimalisnya orang, harta yang paling mahal bagi beliau hanyalah sepasang sandal berwarna kuning hadiah dari Negus, penguasa Abissinia. Beliau tidak pernah menumpuk atau mengoleksi suatu barang seperti manusia modern saat ini. Karena harta yang kita miliki saat ini akan menjadi pertanggungjawaban di akhirat, apalagi jika ditumpuk. Harta tersebut pasti menjadi saksi, apakah kita gunakan untuk kebaikan atau keburukan.

Al-Quran berkata, “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahanam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.” (QS. At-Taubah : 34-35)

Dunia saat ini memang menuntut manusia supaya bersifat konsumtif. Berbagai teknologi memudahkan jalan untuk berbelanja. Gaya hidup semakin hari, semakin tinggi standarnya. Membeli barang hanya untuk sebuah hiasan atau koleksi sudah menjadi kebiasaan. Padahal hakikatnya, hal tersebut tidak dibutuhkan.

Kita wajib belajar dari Rasulullah bagaimana cara menekan keinginan dengan mengingat kehidupan akhirat yang kekal. Alasan akhirat nampaknya sudah sangat cukup untuk kita mengikuti gaya hidup minimalis Rasulullah. Kebiasaan berderma, tidak menumpuk harta, dan mensyukuri sekecil apapun rejeki dari Allah.