Belajar dari Hatta di Film ‘Banda The Dark Forgotten Trail’

Dalam narasi diungkapkan bahwa selama hidupnya total koleksi buku dari Bung Hatta mencapai 80.000 buku.

Belajar dari Hatta di Film ‘Banda The Dark Forgotten Trail’
Banda The Dark Forgotten Trail (Book My Show)

MONDAYREVIEW.COM – Sudah menonton film Banda The Dark Forgotten Trail? Di film garapan sutradara Jay Subyakto tersebut terdapat kisah mengenai Mohammad Hatta yang pernah diasingkan di Pulau Banda. Dari film tersebut dapat ditarik pembelajaran mengenai sosok yang merupakan Wakil Presiden Pertama Indonesia tersebut.

Kecintaannya terhadap buku

Dalam narasi diungkapkan bahwa selama hidupnya total koleksi buku dari Bung Hatta mencapai 80.000 buku. Jumlah buku yang begitu banyak menunjukkan bagaimana Hatta merupakan seorang kutu buku. Dalam buku otobiografinya, Hatta juga menyayangkan dirinya yang harus berpisah dengan 16 peti buku ketika diasingkan ke Digul. Dan tentu saja kecintaan Hatta terhadap buku tercermin dalam quote legendaris dari Bapak Koperasi Indonesia ini yakni: “Aku rela di penjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas.”

Disiplin dan tepat waktu

Jika orang Indonesia dipersepsikan sebagai jam karet, nanti dulu, simaklah bagaimana disiplin dan tepat waktunya seorang Hatta. Penduduk di Pulau Banda dapat menandai bahwa jam 5 sore telah tiba ketika Bung Hatta telah lewat. Sementara itu disiplin dan tepat waktu dari Bung Hatta dalam buku otobiografinya juga dapat disimak dari pembabakan waktunya dalam sehari antara membaca dan menulis.

Nasionalisme 100%

Ada penceritaan yang menarik ketika Hatta di Pulau Banda. Suatu waktu Hatta mengecat perahu sehingga berwarna Merah dan Putih. Tentu hal ini membuat pihak Belanda naik pitam dan mempertanyakan hal tersebut kepada sosok yang disapa anak-anak Banda sebagai Om Kacamata. Bung Hatta pun dengan cekatan berkelit bahwa warna birunya akan terlihat ketika perahu ini melaut.

Hatta diasingkan di Pulau Banda dalam durasi 1936-1942. Di Pulau yang begitu indah tersebut, Hatta tak sekadar menikmati panorama alamnya, namun memaknai kembali tenun kebangsaan dari warga serta sesama exile di Pulau Banda.