Becak, Transportasi Jakarta, dan Ancaman Keselamatan Warga Jakarta

Transportasi yang baik adalah yang mampu memberikan keamanan, kesehatan, dan tentu saja keselamatan masyarakat.

Becak, Transportasi Jakarta, dan Ancaman Keselamatan Warga Jakarta
ilustrasi foto

MONDAYREVIEW, Jakarta - Kota dan peradaban adalah dua anasir yang tak dapat dipisahkan. Dari sisi bahasa, civilization (peradaban) diturunkan dari bahasa Latin civilis (sipil), yang bersinggungan dengan civis, yang berarti citizen atau civitas (kota). Dari sini orang pun seringkali mengandaikan, bila penduduk sebuah kota merupakan penduduk orang yang berbudi luhur dan telah mengalami kehidupan lebih maju dari penduduk yang tinggal di desa.

Begitu banyak contoh, bagaimana sebuah kota kemudian merepresentasikan model peradaban sebuah bangsa. Lihatlah misalnya Atena, sebuah kota yang menggambarkan kejayaan bangsa Yunani, Romawi, Bizantium, dan Ottoman. Kota-kota lainnya misalnya Sidon di Libanon, yang merupakan pusat peradaban bangsa Phonesia; atau juga Baghdad, yang merupakan pusat peradaban Islam era Kekhalifahan Umayah dan Abbasiyah di abad pertengahan.

Lalu, seiring berjalannya waktu dan perkembangan teknologi yang mulai canggih, konsep-konsep mengenai kota pun mulai berkembang secara pesat. Muncullah kemudian istilah-istilah pembangunan sebuah kota, seperti; mixed use center, yang merupakan konsep tata ruang perkotaan dengan menggabungkan fungsi tempat tinggal, kantor, dan area rekreasi; transportation-hub shopping retail, yang menggabungkan hub transportasi dan fungsi retail dalam skala besar; atau pun konsep sustainable practice in urban design, yakni konsep pembangunan kota yang mampu mengurangi ekses negatif ekspansi urban terhadap lingkungan, motivasi interaksi sosial warga di ruang kota dan meminimalkan komersialisasi lahan kota.

Dari berbagai model pengembangan tata ruang kota, ada satu hal memiliki semangat yang sama, dimana transportasi massal menjadi pilihan utama untuk menunjang semua konsep mengenai kota modern. Dan inilah yang di era mutakhir menjadi potret kesiapan dari sebuah peradaban yang bernama kota.

Jakarta: The New Emerging Force

Sebetulnya, para pemegang tampuk kepemimpinan di negara kita, apalagi Kota Jakarta juga memiliki pandangan yang sama, bahkan seperti yang diungkapkan oleh Bung Karno, bahwa sebuah kota seperti Jakarta, harusnya menjadi “The Beacon Of The New Emerging Forces”, beliau ingin harga diri bangsa Indonesia terangkat setelah hancur karena penjajahan. “Lihatlah New York atau Moskow”, tutur beliau menghendaki Jakarta menjadi yang terbesar, terdepan dan termegah.

Dengan spirit yang dipancangkan Bung Karno tersebut, Jakarta pun mulai membangun komplek Stadion terbesar. Ruas jalan Thamrin dan Semanggi dihamparkan sebagai koridor bisnis. Istiqlal dibangun sebagai yang termegah dan Tugu Monas yang monumental pun ditegakkan. Semuanya merupakan rangkaian pesan dari Bung Karno agar identitas baru Kota Jakarta mulai dilirik, dibaca dan diakui oleh dunia internasional.

Di sektor transportasi, kebijakan mulai beralih kepada penggunaan kendaraan pribadi dan bus. Bung Karno mengatakan bahwa trem sudah tidak cocok lagi untuk kota sebesar Jakarta. Bus dan oplet pun mulai didatangkan dari Eropa Timur, seperti merek Robur dan Ikarus.

Sayangnya, seiring berjalannya waktu, wajah Jakarta pun tak nampak seperti yang diharapkan Bung Karno. Jakarta kemudian tak lebih dari sekadar pengejawantahan dari konsep kota yang mendeformasi struktur dan wajah kotanya berdasarkan strata kelas ekonomi (R. Kamil, 2008). Hal ini tampak dari tempat tinggal dan alat transportasi yang digunakan. Kaum berpunya tinggal di lokasi elite dan kemana-mana selalu menggunakan kendaraan pribadi, sementara kaum miskin kota tinggal di tempat kumuh dan sumpek, sepeda motor, bus kota dan bajaj adalah transportasi utamanya. Lebih lanjut, Kota Jakarta pun menjadi arena konflik antar kelas sosial.

Laju urbanisasi yang ekstrim, distribusi spasial & permukiman yang timpang, sistem transportasi kota yang seadanya, gaya hidup berkendaraan yang eksesif dan boros energi sampai alpanya kota menyediakan ruang-ruang pejalan kaki yang nyaman adalah rutinitas masalah Kota Jakarta. Inilah fenomena ketidaksiapan (uncertainty) dari sebuah bejana peradaban yang bernama Kota Jakarta.

Dengan kondisi tersebut, maka wajarlah kiranya bila ada anggapan bahwa untuk bertahan di Jakarta, kita harus menjadi orang berpunya. Karena nyatanya hanya orang-orang yang berduitlah yang dapat secara leluasa menikmati kota Jakarta. Sementara orang yang tak berduit, dipersilahkan untuk menikmati Kota Jakarta dari pingirannya saja.

Apalagi bila melihat bagaimana sistem transportasi kota Jakarta dibangun. Karena terjadi peningkatan jumlah kendaraan pribadi pada tahun 1970, yang ditunjang oleh sistem perkreditan yang luar biasa mudah, masyarakat pun berlomba-lomba memiliki mobil pribadi. Lalu, pemerintah seakan mendukung kecenderungan tersebut, terutama dengan dibangunnya jalan-jalan baru, dan kebijakan lainnya yang memanjakan kendaraan pribadi. Kemacetan Jakarta saat ini, merupakan akumulasi dari kebijakan yang sembrono tersebut. Dimana kapasitas jalan tak lagi mampu menampung arus kendaran yang melintas di atasnya, sementara pertumbuhan pemilikan kendaraan malah kian meningkat.

Di tengah kondisi jalan yang tak menguntungkan, warga Jakarta yang tak memiliki cukup uang untuk ikut memiliki kendaraan pribadi berusaha bertahan dan mencari alternatif moda transportasi lain seperti sepeda motor, bajaj, dan becak (yang saat ini hendak dipopulerkan kembali oleh Anies-Sandi) yang mampu memecahkan kebuntuan di tengah kemacetan yang kian menjadi.

Dilema Becak dan Harapan Perbaikan Transportasi Umum

Pemprov DKI Jakarta kabarnya sebentar lagi akan memperbolehkan beroprasinya kembali kendaraan becak di jalanan ibu kota. Pemberlakuan becak ini nantinya akan diatur dalam peraturan gubernur dengan melibatkan opini masyarakat terkait sejauh mana tingkat kebutuhan masyarakat akan pemberlakuan angkutan becak.

Upaya ini dibentuk atas upaya Pemprov DKI Jakarta untuk memberikan rasa keadilan dan memberikan ruang bagi masyarakat untuk mencari nafkah tanpa saingan yang ketat.

Jika nantinya ada kebebasan untuk pengemudi becak di kampung-kampung untuk beroperasi, diharapkan akan menekan angka pengangguran. Wakil Gubernur DKI Jakarta, Sandiaga Uno menyatakan bahwa awalnya rencana pemberlakuan kendaraan becak untuk keperluan wisata. 

"Nanti saya coba klarifikasi, kareana dulu yang dipikirkan itu adalah pariwisata. Jadi  semacam angling (angkutan lingkungan), untuk memastikan lapangan kerja, pariwisata, serta nantinya dihubungkan dengan destinasi wisata." kata sandi

Namun Sandi meminta kepada publik agar tidak terlalu berspekulasi. Pemprov akan memastikan terlebih dahulu agar masyarakat tidak kebingunan. Tapi bisa dipastikan bahwa becak sebagai bagian dari angkutan lingkungan. Sandi mengungkapkan bahwa ada yang mengatakan bahwa di Jakarta Utara masih banyak di pasar-pasar yang angkutannya gerobak dan becak. Dan itu bisa dianggap sebagai kearifan lokal, dan akan dilakukan penyesuaian.

Kita lihat saja bagaimana kelanjutan keputusan pasangan gubernur yang mempunyai selogan oke oce ini, dalam upayanya menciptakan lapangan pekerjaan seluas-luasnya untuk menekan angka pengangguran. Dan yang terpenting dari semua itu terkait transportasi adalah keselamatan warga Jakarta.

 

Secara materil, persoalan transportasi di Jakarta terutama terkait dengan kemacetan yang terus meningkat telah menimbulkan kerugian mencapai Rp 28,1 triliun setiap tahunnya. Dimana untuk kesehatan kerugian tersebut mencapai Rp 5,8 triliun per tahun. Berupa penyakit pada organ paru-paru (asma, Bronkitis, Pneunomia), kardiovasker, siste, syaraf dan live ginjal.  

Lalu dari penggunaan bahan bakar, terjadi kerugian karena banyaknya BBM yang terbuang akibat kendaraan terjebak kemacetan. Selanjutnya kerugian yang terjadi adalah berbentuk kerugian waktu produktif warga yang terjebak macet sekitar Rp 9,7 triliun pertahun. Begitu juga dengan pemilik angkutan umum yang menderita kerugian sekitar Rp 1,9 triliun per tahun karena berkurangnya jumlah rit operasi armadanya yang macet,dan masih banyak yang lainnya.

Sementara itu, menurut data dari Polda Metro Jaya, kejadian laka lantas tahun 2011 sebanyak 8.144 kejadian, di tahun 2012 menjadi 7.817 kejadian. Tahun 2011 jumlah korban meninggal sebanyak 1.005 orang dan tahun 2012 sebanyak 901 orang. Demikian halnya jumlah korban luka ringan turun sebanyak 383 orang atau sebesar 6,02 persen. Di tahun 2011 jumlah korban luka ringan mencapai 6.357 orang dan tahun 2012 sebanyak 5.974 orang. Lalu untuk korban luka berat di tahun 2011 ada 2.852 orang dan di tahun 2012 ada sebanyak 2.865 orang.

Akibat lainnya adalah maraknya kejahatan di angkutan umum, dimana berdasarkan data yang tercatat di Humas Polda Metro Jaya, angka kriminalitas di angkutan umum sepanjang tahun 2012 sebanyak 31 kasus. Dan 16 kasus diantaranya dialami oleh perempuan.

Bila menyasar sekelumit persoalan yang mengelilingi Kota Jakarta, maka ketidakmampuan dalam mengantisipasi pertumbuhan dan mengontrol perubahan adalah sumber utamanya. Karenanya nyatanya, ketidakmampuan tersebut telah membuat gaya hidup dan fisik Kota Jakarta begitu cepat berubah, sementara antisipasi sistem kota dan mekanisme kontrolnya berjalan sangat lambat.

Arus urbanisasi pun terjadi dengan begitu ekstrimnya, distribusi spasial dan pemukiman yang timpang, sistem transportasi kota yang seadanya, gaya hidup berkendaraan yang eksesif dan boros sampai alpanya Kota Jakarta dalam menyediakan ruang-ruang pejalan kaki yang nyaman adalah masalah Kota Jakarta yang saban hari kita jumpai. Menyaksikan kota Jakarta kala pagi di hari-hari sekarang ini hanyalah makin menampakkan potret ketidaksiapan dari sebuah wadah peradaban yang bernama kota.

Padahal, meminjam perkataannnya Enrique Penelosa, mantan Walikota Bogota, ciri kota yang baik adalah yang bisa menggoda warganya untuk keluar rumah dengan sukarela. Bersantai di jalur pedestrian atau bibir bangunan, atau berinteraksi di taman kota.

Sementara dalam konteks transportasi umum, maka paling tidak, transportasi yang baik adalah yang mampu memberikan keamanan, kesehatan, dan tentu saja keselamatan masyarakat.

Kota itu sejatinya menjadi seperti akuarium perubahan. Dimana peradaban manusia terus mengalami pergerakan dan perubahan. Siapa pun mesti siap dan mampu berenang dengan baik. Karena bila tidak, ia akan terbawa dan terombang-ambing oleh arus deras zaman. [ ]