Bahas Industri Halal, Mahasiswa Indonesia Raih Gelar Doktor Di Pakistan

Bahas Industri Halal, Mahasiswa Indonesia Raih Gelar Doktor Di Pakistan
Muladi Mughni mempertahankan disertasi berjudul "An-Nawaazil al- Fiqhiyyah Fi Shina'ati al Muntajaat al-Halal; Diraasah Ta'shiliyyah Tatbiqiyyah Muqaaranah" setebal 400 halaman (hidayatullah.com)

MONITORDAY.COM - Seorang mahasiswa asal Indonesia berhasil meraih gelar Doktor di Islamic International University Islamabad Pakistan. Mahasiswa tersebut adalah Muladi Mughni. Surat keputusan kelulusannya dibacakan oleh Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Prof. Dr. Ataullah Faizi, yang sekaligus sebagai ketua penguji ujian doktoralnya.

“Setelah melalui proses mempertahankan hasil penelitian Disertasi selama tiga jam di hadapan tiga penguji, komite sidang menetapkan Saudara Muladi Mughni lulus dengan nilai mumtaz/cumlaude“, demikian bunyi surat keputusan yang dibacakan Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Prof. Dr. Ataullah Faizi hari Jum’at, (11/3/2022).

Dua penguji lainnya adalah Prof. DR. Hafiz Ikram ul-Haq dari Islamic Ideology Council-Pakistan, dan Prof. Dr. Muti ul-Rahman dari Federal Shariah Court-Islamabad.

Dalam disertasi berjudul “An-Nawaazil al- Fiqhiyyah Fi Shina’ati al Muntajaat al-Halal; Diraasah Ta’shiliyyah Tatbiqiyyah Muqaaranah” setebal 400 halaman tersebut Muladi membahas seputar problematika fikih kontemporer dalam halal industri tinjauan teoritis, pratik, dan perbandingan di dunia Islam termasuk Indonesia.

Surat keputusan kelulusan Muladi Mughni dengan nilai mumtaz alias cumlaude dibacakan Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Prof. Dr. Ataullah Faizi, yang sekaligus sebagai ketua penguji ujian doktoralnya

Muladi menyampaikan bahwa disertasinya dirampungkan di sela-sela dirinya bekerja di Bidang Ekonomi Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Islamabad, saat ini dipimpin Dubes Adam M. Tugio. Salah satu yang memotivasinya menulis disertasi terkait halal industri adalah pengalaman awal ketika dirinya menemukan kasus sengketa dagang terkait satu produk Indonesia yang diekspor ke Pakistan akibat perbedaan penilaian terhadap status kehalalan produk tersebut.

“Setiap negara memiliki basis legal interpretasi dalam menetapkan standar halal suatu produk terkait food & beverage, obat-obatan, kosmetika, dan fashion, “ ujarnya.

Namun beberapa negara yang mayoritas berpenduduk muslim pun tidak semuanya menyepakati standar halal yang dikeluarkan lembaga OKI sebagai acuan. Beberapa produk hukum atau keputusan lembaga fikih otoritatif berkaliber internasional pun bahkan kerap berbeda pandangan terkait beberapa isu dalam suatu produk industri.

“Upaya menyatukan dunia dalam satu standar halal tidaklah mudah, dan hampir tidak mungkin terjadi karena masing-masing memiliki karakteristik rujukan mazhab yang berbeda,” ucap Muladi.

Persoalan perdagangan produk halal menurutnya tidak boleh terhambat karena perbedaan standar tersebut. “Justru perlu dikapitalisasi menjadi peluang penciptaan kerja sama antarnegara melalui skema kesepakatan yang extraordinary dan akomodatif semisal mutual recognition agreement (MRA),” sambung Muladi ketika ditanya solusinya.

Domain penelitiannya tidak mengupas kasus praktik sengketa dagang produk halal, namun  lebih besar pada kajian legal standar pada ingredient dan aditif yang masuk ke dalam suatu produk industri. Hal lain yang memperkaya disertasinya menurut penguji adalah analisa kritisnya pada produk keputusan hukum dari lembaga fikih dunia, seperti Majma al-Buhuts al-Islami li al-Azhar el-Syarif (Mesir), Majma al-Fiqh ad-Dualy (OKI), al-Majma al-Fiqh al-Islami  (Jeddah), Majlis al-Auruby Lil-Ifta, dan MUI (Indonesia).