Ardian Syaf, Logika Seni dan Kekuasaan Opini
Pihak yang menguasai opini dapat menentukan karya seni apa yang layak dipuji dan di-bully.

MONDAYREVIEW.COM – Ardian Syaf seorang ilustrator yang mampu mencuri perhatian. Ardian menggegerkan publik ketika menyusupkan simbol Al-Maidah 51 dan aksi 212 dalam komik Marvel X-Men Gold #1. Pro dan kontra pun terjadi ketika itu. Muara dari penyisipan simbol itu yakni Marvel mendepak Ardian sebagai komikusnya.
Ardian sendiri pernah dipuji oleh beberapa kalangan 5 tahun lalu dalam karya komik Batgirl dari The New 52! Bernomor 9: Night of The Owls, terbitan DC Comics, Mei 2012. Disusupkan di komik tersebut terdapat Little Jakarta yang merupakan bagian dari Gotham City. Kota korup yang menjadi latar dari cerita komik Batman. Di sudut kota itu terpasang baliho bergambar Jokowi-Ahok berkemeja kotak-kotak.
Saat itu euforia dengan terpilihnya Jokowi-Ahok sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Ardian menyatakan saat itu dirinya kagum terhadap sang Gubernur DKI Jakarta yang kini menjadi Presiden RI.
Maka ketika simbol Al-Maidah 51 dan aksi 212 disisipkan, Ardian Syaf mengalami mekanisme dari begitu dipuji, kini malah di-bully. Seorang seniman memang biasa menyisipkan kode, filosofi dalam karyanya. Leonardo da Vinci misalnya konon menyisipkan kode-kode tertentu dalam lukisan Mona Lisa seperti diungkap Dan Brown.
Maka boleh dibilang apa yang dialami Ardian Syaf ketika dihujat sesungguhnya manakala perspektif opini dikuasai. Siapa yang benar dan siapa yang salah, dapat ditentukan oleh perspektif opini yang dominan.
Dengan demikian ranah seni ketika bersentuhan dengan politik pun bersentuhan dengan logika kekuasaan. Logika kekuasaan dalam artian penguasa ataupun pihak yang menguasai opini dapat menentukan karya seni apa yang layak dipuji dan di-bully. Bukankah Sukarno dulu pernah menyudutkan para seniman yang “menghidangkan” musik ngak-ngik-ngok.
"Engkau yang tentunya antiimperialisme ekonomi. Engkau yang menentang imperialisme politik, kenapa di kalangan engkau banyak yang tidak menentang imperialisme kebudayaan? Kenapa di kalangan engkau banyak yang masih rock and roll-rock and roll-an, dansa-dansian ala cha-cha-cha, musik-musikan ala ngak-ngik-ngok, gila-gilaan dan lain-lain sebagainya lagi?" ucap Sukarno pada 17 Agustus 1959.
Dengan demikian para pelaku di panggung kehidupan dapat berganti, namun sejarah dapat berulang. Seperti ditunjukkan dalam relasi antara seni dan kekuasaan.