Ali bin Husain, Mahkota Para Ahli Ibadah

Ali bin Husain, Mahkota Para Ahli Ibadah
inhilnews.com

MONITORDAY.COM - Ali merupakan anak Husain bin Ali bin Abi Thalib, cucu Nabi Muhammad SAW dari pernikahan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra. Nama panjangnya adalah Ali Zainal Abidin. Nama tersebut disematkan oleh Sa’id bin Musayyib.

Zainal Abidin dalam bahasa arab berarti mahkota atau hiasan para ahli ibadah. Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa Ali adalah penyejuk pandangan Islam. Darah Nabi Muhammad SAW mengalir sampai ke cicitnya.

Buah tak jatuh jauh dari pohonnya. Sesuai namanya (Mahkota Ali Ibadah), Ali mempunyai kepribadian yang alim layaknya Rasulullah. Beliau diberi gelar As-Sajjad yang artinya ahli sujud, di keningnya tampak bekas sujud.

Muhammad Al-Baqir menuturkan bahwa setiap kali mendapat nikmat Allah, Ali Zainal Abidin langsung bersujud. Setiap kali membaca ayat sajdah, beliau bersujud. Selepas mendirikan salat, beliau selalu bersujud. Bahkan setiap kali berhasil mendamaikan orang berselisih, beliau sujud.

Disamping ketakwaaanya dalam beribadah, ia memiliki kebijaksanaan yang membuat kita tertegun. Berikut kisahnya..

Suatu hari, Thawus bin Kaisan melihat Ali sedang duduk bersimpuh di depan Kakbah. Thawus mengampirinya dan berkata, “Wahai cicit Rasulullah, dirimu memiliki tiga keutamaan yang bisa melindungimu dari takut. Pertama, dirimu adalah keturunan Rasulullah, kedua, dirimu akan mendapatkan syafaat darinya, ketiga, rahmat Allah bagimu.”

Kemudian Ali membantah perkataan Thawus dengan sangat bijak, “Wahai Thawus, garis keturunanku tidak akan menjamin keamananku setelah kudengar firman Allah “…kemudian ditiup lagi sangkakala, maka tidak ada lagi pertalian nasab di antara mereka hari itu” (QS. Al-Kahfi: 99). Adapun syafaat Rasulullah, “Mereka tiada memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridai Allah.” (QS. Al-Anbiya: 28). Sedangkan rahmat Allah, “Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Araf: 56)

Ali Zainal Abidin lahir di tengah kecamuk Perang Jamal pada tanggal 15 Jumadil Ula tahun 36 H di kota Madinah. Ada pula riwayat yang mengatakan tanggal 5 Sya’ban 38 H. Ibunya bernama Syahar Banu yang merupakan putri dari kisra, raja terakhir kekaisaran Persia. Beliau sempat berada dalam pangkuan kakeknya, Ali bin Abi Thalib selama dua tahun. Setelah itu, beliau diasuh selama dua belas tahun oleh pamannya, Hasan bin Ali.

Tragedi Karbala pecah saat umurnya 11 tahun. Ali menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana anggota keluarganya jatuh berguguran, termasuk ayahnya Husein bin Ali. Beliau pun hampir terbunuh, namun berkat perlindungan dari Zainab bibinya, yang mendekap dan mencegahnya dari serangan, nyawanya bisa terselamatkan.

Usai kejadian Karbala, Ali Zainal Abidin didaulat menjadi Imam keempat kaum syi’ah. Beliau menjadi imam yang berkarisma, berpengaruh dan disegani. Tak hanya skill kepemimpinan, dalam ilmu agama, beliau ahli di bidang ilmu hadits dan banyak dijadikan sebagai rujukan para ulama.

Selama 34 tahun memimpin, beliau kurang fokus menggalang kekuatan umat. Mengingat secara politis kekuatan syiah sangat lemah. Dinasti Umayah tidak pernah memihak keluarga Rasululllah SAW. Dalam periode kepemimpinannya, Ali menjadikan doa sebagai spirit utama dalam menegakkan kebenaran. Doa-doa yang dipanjatkan diharapkan dapat mengeluarkan penderitaan yang dialami kaum syi'ah dalam menghadapi kesulitan dan kesusahan.

Salah satu doanya, “Wahai Rabb-ku, Engkau menjadikan aku merasakan rahmat-Mu kepadaku seperti yang kurasakan dan Engkau berikan nikmat kepadaku sebagaimana yang Engkau anugerahkan, sehingga aku berdoa dalam ketenangan tanpa rasa takut dan meminta sesuka hatiku tanpa malu dan ragu. Wahai Rabb-ku, aku berwasilah kepada-Mu dengan wasilah seorang hamba lemah yang sangat membutuhkan rahmat dan kekuatan-Mu demi melaksanakan kewajiban dan menunaikan hak-Mu. Maka terimalah doaku, doa orang yang lemah, asing dan tak ada yang mampu menolong kecuali Engkau semata, wahai Akramal Akramin”

Di kemudian hari, doa-doa tersebut terkumpul dalam kitab berjudul Shahifah Sajjadiyah. Kitab ini mendapatkan perhatian ulama, dikenal juga dengan Zabur Ahlu Bayt. Di dalamnya berisikan kumpulan doa dan etika berdoa kepada Allah SWT.

Selain menulis Shahifah Sajjadiyah, beliau juga menulis buku kecil berjudul Risalatul Huquq yang membahas masalah pendidikan dan etika, serta tugas-tugas manusia kepada Tuhannya, dirinya, dan sesamanya.

Ali Zainal Abidin merupakan sosok penuh teladan. Banyak hal yang bisa dicontoh dari kehidupannya. Terutama dalam ketekunan ibadah, beliau meninggalkan segala sesuatu termasuk kekuasaan demi Tuhannya. Manusia meninggal sesuai kebiasaannya. Karena kebiasaan Ali adalah bersujud, sujud menjadi keadaan terakhir hidupnya.

Musa bin Abdullah bin Musa mengatakan, “Ali bin Husain wafat dalam kondisi sujud di bawah tahanan Abu Ja’far.” Dalam kitab Maqatil Thaalibin disebutkan pula, Ali bin Husain diduga tertidur dalam sujudnya, tapi ternyata beliau wafat.

Ali Zainal Abidin wafat di Madinah pada tanggal 18 Muharram tahun 95 H akibat racun yang dilayangkan rezim kekuasaan Walid bin Abdul Malik. Beliau meninggalkan 11 orang putra dan 4 orang putri. Jenazahnya disemayamkan di Pemakaman Al-Baqi, dekat makam sang Paman, Hasan.