Akhiri Konflik Palestina-Israel, Two State Jadi Solusi Rasional

Akhiri Konflik Palestina-Israel, Two State Jadi Solusi Rasional
resolusi 2 negara (Foto: Istimewa)

MONITORDAY.COM -

Konflik Israel-Palestina yang berkepanjangan coba diselesaikan dengan konsep two-state solution atau solusi dua negara. Israel-Palestina bisa hidup berdampingan sebagai negara berdaulat dengan menjadikan Yerusalem sebagai ibu kota bersama. 

Hal itu dinilai menjadi pilihan paling realistis, dan sudah didukung oleh serangkaian resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dan Sidang Majelis Umum PBB.

Demikian mengemuka dalam webinar Moya Institute bertajuk “Indonesia di Tengah Pusaran Konflik Palestina-Israel”, Jumat (4/6/2021). 

Acara dihadiri secara virtual oleh Ketua Umum Partai Gelora Anis Matta, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Prof Abdul Mu’ti, Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia Prof Komaruddin Hidayat, pengamat politik internasional Prof Imron Cotan, aktivis Islam Kapitra Ampera. Direktur Eksekutif Moya Institute Hery Sucipto menjadi pemantik diskusi.

Anis Matta berharap pemerintah Indonesia mendorong momentum konsep penyelesaian two-state solution dalam penyelesaian konflik Israel-Palestina.

Setidak-tidaknya, menurut Anis, Indonesia bisa berperan menyatukan Hamas dan Fatah, sehingga menjadi satu front vis-a-vis Israel. Anis menyatakan Jakarta bisa menjadi tuan rumah rekonsiliasi Hamas-Fatah tersebut. Selain itu, pembubaran Israel juga bisa menjadi solusi untuk mengakhiri konflik di Palestina.

Menurut Anis pembubaran suatu negara merupakan hal biasa dan pernah terjadi menimpa Uni Soviet serta Yugoslavia. Setelah bubarnya Uni Soviet, lanjut Anis, muncul Rusia yang justru menjadi kekuatan baru global.

Sementara itu, Prof Komaruddin Hidayat menilai Indonesia sesuai amanah konstitusi tentu menentang segala penjajahan di muka bumi. Komaruddin menyebut elite-elite politik Indonesia tidak akan populer kalau membela Israel. Intinya, menunrutnya, Indonesia harus mampu membantu menyelesaikan konflik.

“Ada satu gagasan bagaimana menjadi penengah, kalau kita tidak bisa merangkul keduanya. Jembatan itu kan harus kakinya terhubung. Terhubung dua kaki, yang satu adalah Palestina, yang satu Israel. Seperti kata Gus Dur, kita enggak mungkin jadi penengah kalau Indonesia tidak bisa bersahabat dengan Israel. Erdogan itu keras sekali. Tapi dalam hal ekonomi dengan Israel kan jalan terus. Arab Saudi juga berkawan baik dengan Amerika,” tutur Komaruddin.

Membahas Palestina, menurut Komaruddin, ternyata antara bahasa bisnis dan bahasa agama itu berbeda logikanya. Dikatakan, umat Islam Indonesia sangat anti Israel dan sangat pro Hamas. Sementara, Hamas didukung Iran yang Syiah.

“Nah, umat Islam Indonesia itu anti Syiah, padahal Syiah di Iran paling konsisten membela Hamas anti Israel. Kita sangat dekat dengan Saudi, sementara Saudi itu bersahabat baik dengan Amerika dan juga Israel. Jadi, logika, emosi agama, logika ekonomi dan politik ini ternyata berbeda-beda. Bagi masyarakat awam kan tidak paham logika ini,” ujar Komaruddin.

“Kita agak kacau kalau bicara antara politik dan teologi agama. Karena, secara politik, kalau alasan mereka karena agama, mestinya Arab Saudi investasinya paling besar ke Indonesia karena masyarakat muslim paling banyak, tapi kita investasi nyatanya dari China yang bukan Islam,” demikian Komaruddin.

Prof Imron Cotan menanggapi konflik Palestina-Israel dengan pendekatan multilateral. Menurut Imron, penyelesaian konflik melalui prinsip two-state solution dengan mengembalikan perbatasan Israel-Palestina ke tahun 1967, serta menetapkan Yerusalem sebagai ibu kota dari Palestina dan Israel adalah solusi yang berkeadilan.

“Kita tidak bisa memaksakan kehendak karena di belakang Israel ada Amerika Serikat yang diharapkan jadi penengah konflik. Namun nyatanya tidak bisa, karena mereka sudah diikat dengan komitmen dukungan penuh terhadap Israel,” kata Imron.

“Untuk menyelesaikan masalah memang diperlukan penengah yang jujur. Sampai saat ini belum ada. Mudah-mudahan Rusia sebagai penyeimbang bisa berperan, seperti yang terjadi di Suriah, sehingga AS (Amerika Serikat) dan pendukungnya tidak bisa menjadikan Suriah seperti Libya, Afghanistan dan Irak,” ujar Imron.

Imron juga setuju kalau Indonesia bisa menjadi penengah antara Hamas dan Fatah, sehingga bersatu melawan penjajahan Israel. Sebab, hal tersebut salah satu tugas konstitusi Indonesia.