57 Persen Guru Intoleran, Ini Tanggapan Dekan FKIP UHAMKA
Hasil penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menunjukan data sebanyak 57% guru memiliki opini intoleran terhadap pemeluk agama lain. Sedangkan 37,77% keinginan untuk melakukan perbuatan intoleran atau intensi-aksi. Berikut tanggapan Dekan FKIP UHAMKA.

MONITORDAY.COM - Hasil penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menunjukkan data sebanyak 57% guru memiliki opini intoleran terhadap pemeluk agama lain. Sedangkan 37,77% keinginan untuk melakukan perbuatan intoleran atau intensi-aksi.
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat pandangan serta sikap keberagamaan guru sekolah dan madrasah di Indonesia. Guru punya posisi strategis dan punya peran penting dalam pembentukan nilai-nilai, pandangan, serta pemikiran siswa," kata Direktur Eksekutif PPIM Saiful Uman saat memaparkan hasil penelitiannya, di Hotel Le Meridien, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat, Selasa (16/10/2018).
Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (UHAMKA) Desvian Bandarsyah mengaku tekejut dengan hasil riset tersebut.
"Meskipun bisa dipahami bahwa ketegangan relasi antar umat beragama memang meningkat akhir-akhir ini sejak pilkada DKI yang lalu," kata Desvian di Jakarta, Rabu (17/10/2018) malam.
Desvian meyakini, hasil penelitian itu menunjukkan adanya hubungan dengan dinamika politik yang dibalut oleh isu-isu agama dan sara yang berlangsung selama ini. Menurutnya, hasil riset itu perlu dibaca sebagai peringatan serius terhadap dinamika keindonesiaan.
"Mengingat bahwa prosentasi yang menggambarkan sikap intoleransi terhadap pemuka agama lain sangat tinggi," jelasnya.
Menurut Desvian, berangkat dari maksud penelitian PPIM UIN Jakarta tersebut dihubungkan dengan tingkat prosentase guru yang intoleran, maka dapat menjadi kehawatiran bagaimana perspektif transfer nilai melalui pendidikan dan pengajaran yang dilakukan oleh guru di dalam kelas.
"Terutama ketika materi pembelajaran bersinggungan dengan keragaman dan relasi antar pemeluk agama di Indonesia," paparnya.
Desvian menambahkan, satu hal yang perlu menjadi perhatian guru yakni bahwa pendidikan kita adalah pendidikan nasional. Disebut sebagai pendidikan nasional karena pendidikan diselenggarakan oleh negara dan diselenggarakan di wilayah Indonesia.
"Dengan demikian sesungguhnya pendidikan memiliki visi dan misi yang sesuai dengan kepentingan negara Indonesia. Guru menjadi subordinat dalam kerangka pemikiran kepentingan pendidikan semacam itu. Maka pendidikan harus menumbuhsuburkan nilai keindonesiaan, toleransi, kebersamaan, menghargai keragaman, dan mendorong tumbuhnya social capital di antara siswa yang menjadi bagian dari masyarakatnya," tambahnya.
Desvian menilai, segala visi misi dan tujuan pendidikan semacam itu menjadi terancam dan bermasalah dalam praktek penyelenggaraannya.
"Jika guru dalam jumlah prosentase yang tinggi memiliki persepsi intoleransi sebagaimana yang dihasilkan dalam riset ini," bebernya.
Lebih lanjut, Desvian mengatakan hasil riset tersebut perlu mendapat perhatian dan respon proporsional dari segenap kalangan pendidik dan masyarakat serta pemerintah di Indonesia.
"Perhatian dan respon yang rendah terhadap persoalan ini hanya akan mendorong pandangan semacam ini mengalami eskalasif dan masif di kalangan pendidik. Tentu menjadi keprihatinan bersama," tutupnya