Patung GWK ‘Mahakarya Anak Bangsa’
Patung GWK layak disebut mahakarya

ADA perasaan senang dan bahagia yang membuncah dan tersirat di wajah Presiden Joko Widodo (Jokowi) ketika meresmikan patung Garuda Wisnu Kencana (GWK) yang menurutnya merupakan mahakarya anak bangsa.
Patung GWK layak disebut mahakarya karena merupakan salah satu patung tembaga terbesar di dunia dan patung tertinggi ke-3 di dunia.
“Saya tadi diberikan penjelasan bahwa patung ini lebih tinggi dari pada Patung Liberty di Amerika Serikat,” kata Presiden dalam sambutannya saat acara Peresmian Patung GWK di Kabupaten Badung, Bali, Sabtu (22/9).
Selesainya mahakarya ini, lanjut Presiden, bukan hanya membanggakan rakyat Bali, tapi juga membanggakan seluruh masyarakat Indonesia.
Hal ini menurutnya membuktikan sebagai bangsa yang besar, Indonesia bukan hanya mewarisi karya-karya besar peradaban bangsa masa lalu yang indah seperti Candi Borobudur dan Candi Prambanan.
“Tapi di era kekinian bangsa kita juga bisa berkarya, bisa berkreasi untuk membangun sebuah peradaban, untuk melahirkan mahakarya yang baru, yang juga mengagumkan kita semua, yang juga diakui dan dikagumi dunia,” lanjutnya.
Kepala Negara juga menuturkan di era kemajuan teknologi seperti sekarang ini, pengembangan seni budaya harus dipadukan dengan teknologi.
Seperti halnya Patung GWK yang juga memadukan karya seni budaya bangsa Indonesia, terutama seni budaya Bali dengan kemajuan teknologi, dengan riset, dengan ilmu pengetahuan yang baru.
Pada saat proses pembuatannya, Patung GWK telah menjalani serangkaian tes, antara lain windnel test atau tes ketahanan angin di Australia (Windtech) dan Kanada (RDWI), cavity test atau tes rongga secara berkala, dan soil test.
Konstruksi patung dibuat dengan material tembaga dan kuningan, ditopang 21.000 batang baja dengan berat total 2.000 ton dan jumlah baut sebanyak 170.000 buah. Adapun periode konstruksi berlangsung mulai Agustus 2013 hingga Juli 2018.
“Dengan perpaduan itu, patung GWK ini akan mampu bertahan selama kurang lebih 100 tahun dan saya yakin 100 tahun lagi patung GWK akan tetap menjadi karya peradaban yang dibicarakan, yang menjadi kebanggan bangsa dan menjadi warisan kebudayaan bangsa Indonesia,” tuturnya.
Di balik kemegahan patung ini, Presiden menuturkan ada satu hal yang bisa menjadi inspirasi bagi semua, yakni karya besar dimulai dari keberanian untuk mempunyai gagasan-gagasan besar, mimpi besar, dan lompatan-lompatan besar. Menurutnya, tanpa keberanian akan sulit lahir karya-karya besar.
“Saya melihat patung ini bukan hanya menjadi ikon budaya Bali atau ikon pariwisata Indonesia, tapi menjadi tapak sejarah. Bangsa kita akan mampu melahirkan karya-karya besar jika kita berani memulai dengan ide-ide besar,” ujarnya.
Ide-ide besar tersebut menurut Kepala Negara juga harus diikhtiarkan secara konsisten, seperti untuk membangun patung GWK yang akhirnya bisa terwujud setelah 28 tahun.
Oleh karena itu, Presiden memberikan apresiasinya kepada I Nyoman Nuarta atas gagasan besar, keberanian, dan ikhitiarnya selama ini. Tak hanya itu, Presiden juga berterima kasih kepada semua pihak yang telah bekerja keras menyelesaikan patung setinggi 121 meter ini.
“Tentu gagasan besar ini juga ditopang oleh banyak pihak, dukungan pemerintah dan rakyat Bali, maupun pihak swasta yang ingin mimpi besar para seniman ini terwujud,” ungkapnya.
Di penghujung sambutannya, Kepala Negara pun mengajak para seniman dan para budayawan untuk terus berkreasi untuk mewujudkan karya-karya terbaik yang selanjutnya akan memperkaya peradaban bangsa Indonesia.
Untuk mencapai level peradaban dengan karya-karya terbaik, ada banyak hal teknis yang memang mesti dipahami. Termasuk soal pemanfaatan media seni rupa. I Nyoman Sudarwa, seniman sekaligus pengajar di SMKN 1 Sukawati, Gianyar Bali, para seniman saat ini, terutama yang beraliran modern, banyak yang sudah menggunakan tembaga atau perunggu. “Secara teknis memang sama, namun hanya masternya saja yang berbeda,” ujarnya.
Untuk mencapai level internasional dan menembus pasar dunia, para seniman kita di Tanah Air juga sebetulnya banyak yang bisa. Namun, soal dikenal atau tidaknya itu yang jadi persoalan. Menruut Sudarwa, selain soal teknis ada juga soal peruntungan. Karena menurutnya, ada juga seniman kelas dunia, yang sebetulnya besar dan terkenal lebih karena keberuntungan saja.
“Sebetulnya ndak sulit, apalagi seni rupa yang modern ini banyak yang bisa. Banyak juga yang menembus pasar internasional, diakui dunia. Tapi untung rugi juga menetukan, kalau beruntung nasib bisa menembus pasar dunia,” tutur Sudarwa.
Nyoman Sudarwa menyarankan, agar para seniman muda lebih fokus kepada lokal wisdomnya. Seni rupa tradisional yang khas daerah masing-masing. Seni lukis batuan misalnya, itu akan lebih mudah dikenal dan dihargai orang lantaran memiliki keunkan tersendiri.
Meski pada satu titik, kita juga mesti sadar diri. Jangan sampai kita dininabobokan oleh kedigdayaan seni rupa daerahnya sendiri. Karena daerah ataupun negara lain juga punya kekhasannya sendiri, bila tidak melihat perkembangan zaman, pada waktunya juga akan hilang dimakan waktu.
Satu hal lagi yang menurutnya penting untuk direnungkan, tentang pentingnya regenerasi seniman. Memang betul bahwa bali itu nafsnya seni rupa, sehingga umurnya menjadi lebih lama. Namun bila tidak diturunkan, diajarkan kepada seniman yang lebih muda, nisacaya akan hilang juga.
Mungkin, itulah alasannya kenapa I Nyoman Sudarwa selain fokus menghasilkan karya seni, juga meluangkan waktunya untuk berbagi pengalaman dan kemampuan seni rupanya kepada anak-anak SMK Negeri 1 Sukawati.
Bagi Nyoman Sudarwa, SMKN 1 Sukawati itu ibarat tanah leluhurnya. Sehingga ia tak berani pergi begitu saja dari sekolah yang pertama kali didirikan oleh Ni Made Kadjeng tahun 1967. “Kalau orang Bali bilang, itu adalah leluhur kita. Jadi tak berani kita pergi dari SMK Sukawati. Namanya leluhur itu harus dijunjung, dirawat, jangan dilupakan dan ditinggalkan,” pungkas Sudarwa.
Menurut Sudarwa, secara ekonomis dirinya sudah selesai dari aktivitasnya mematung bersama beberapa orang karyawannya di rumah. Namun ada panggilan moral, untuk mengembangkan seni rupa. “Saya ingin menularkan kemampuan. Bagaimana caranya kita bisa menjaga nafas Bali itu. Karena itu saya tidak tega bila harus meninggalkan SMK,” pungkasnya. [ ]