Aparat Didesak Usut Tuntas Kasus Kekerasan Jurnalis
Kebebasan pers di Indonesia kembali tercoreng dengan terjadinya kekerasan dan intimidasi yang ditujukan kepada jurnalis yang meliput acara malam munajat 212 di lapangan Monas, kamis (21/2).

MONITORDAY.COM - Kebebasan pers di Indonesia kembali tercoreng dengan terjadinya kekerasan dan intimidasi yang ditujukan kepada jurnalis yang meliput acara malam munajat 212 di lapangan Monas, kamis (21/2).
Barisan keamanan menghalang-halangi belasan jurnalis yang hendak meliput aksi pencopetan dan massa memaksa untuk menghapus semua dokumentasi berupa foto dan video, bahkan beberapa jurnalis mengalami kekerasan fisik.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers mencatat, aksi kekerasan, intimadasi, dan persekusi jurnalis mulai marak sejak Pilkada DKI Jakarta 2017.
Rentetan kekerasan dan persekusi terhadap jurnalis terus terulang, sperti yang dialami Jurnalis Metro Tv dan Global Tv saat meliput aksi 112 tahun 2017.
Kemudian juga ada aksi persekusi jurnalis Detik.com yang hendak mengambil foto sampah dalam aksi Bela Tauhid II, November 2018 lalu.
Menyikapi kasus-kasus kekerasan dan intimidasi yang kerap menimpa jurnalis pada tahun politik ini, AJI Jakarta dan LBH Pers mengadakan diskusi dengan tema “Intimidasi Jurnalis, Cederai Demokrasi” di sekretariat AJI Jakarta, Minggu (3/3/2019) sore.
“Kalau kita perhatikan, sejak aksi massa 212 pada tahun 2016 sampai dengan malam munajat 212, selalu saja ada kekerasan yang dialami jurnalis saat meliput. Ada persekusi yang menimpa jurnalis Metro TV, Tirto.id, CNN Indonesia, dan Detik,” kata Ade Wahyudin Direktur LBH Pers.
Menurut Ade, harus ada komitmen dan ketegasan stakeholder terkait. baik itu dari aparat kepolisian, pimpinan organisasi masyarakat, bahkan dari perusahaan media tempat jurnalis bekerja.
“Terutama dari Ormas, harus ada instruksi langsung dari pemimpinnya, bahwa tidak boleh ada tindak kekerasan terhadap jurnalis saat meliput. Ketegasan itu diperlukan sebagai bentuk dukungan terhadap iklim demokrasi dan kebebasan pers di Indonesia,” ujar Ade dalam keterangan tertulis.
Ketua AJI Jakarta Asnil Bambani menegaskan, setiap usaha yang menghalang-halangi kerja jurnalistik sama saja dengan menciderai demokrasi.
“Bagaimana jurnalis bisa melakukan fungsi pengawasan kalau saat meliput selalu mendapat tekanan dari massa? Ini kegelisahan yang dirasakan oleh teman-teman di lapangan. Polisi harus tegas menidak pelaku menggunakan UU Pers,” ujar Asnil.
Mengingat, sampai saat ini belum ada satupun kasus kekerasan jurnalis yang berakhir di meja hijau. Maka untuk menggalang dukungan, AJI Jakarta dan LBH Pers meluncurkan petisi untuk mendesak aparat kepolisian agar menuntaskan proses hukum terkait kasus kekerasan malam munajat 212.