Ungkap Paradoks Era Jokowi, Eks Dewan Pers: Menteri Hambat Pemberitaan

MONITORDAY.COM - Mantan Wakil Ketua Dewan Pers, Leo Sabam Batubara mengungkap adanya paradoks kebebasan pers di era Presiden Joko Widodo. Pasalnya, apa yang disampaikan Jokowi dengan realita kebijakan yang ada kerap bertolak belakang.
Seperti pada tahun 2015 misalnya, Presiden Jokowi yang kala itu datang ke Merauke mengatakan bahwa di Papua kebebasan pers juga harus diterapkan. Jokowi lantas membolehkan wartawan asing untuk meliput.
"Tetapi clearing house-nya aparat Pemerintah membikin peraturan tambahan. Wartawan asing mau datang harus pakai izin, dan wartawan itu harus didampingi. Peraturan ini menghambat kegiatan wartawan," ujar Leo kepada MONITORDAY.COM saat ditemui di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (27/4/2018).
Padahal, menurutnya di balik kebijakan Presiden terdapat aspek yang sangat strategis. Leo menuturkan di Papua, sering kali terjadi pelanggaran HAM.
Sementara di Jakarta, aparat keamanan tidak banyak diributkan melanggar HAM. Hal itu, ujar Leo, karena aparat keamanan sudah tahu di Jakarta wartawan bebas berkeliaran.
Untuk itu, Leo menengarai aparat terkait tidak ingin ketahuan oleh wartawan yang meliput bahwa ada pelanggaran HAM yang kerap terjadi di Papua. Dirinya lantas menegaskan wartawan harus dibebaskan meliput di Papua
agar aparat terkait dalam rangka menyelanggarakan pemerintahan dapat diawasi oleh pers.
"Di sana kalau ada Pers is watching them. Tapi kalau Pers tidak bebas, tidak watching them, maka potensi pelanggaran HAM itu akan berlanjut terus," tukas dia.
Lebih lanjut, menurut Leo idealnya soal visi, misi atau program kebijakan, presiden harus menjadi rujukan semua menteri dan bawahan. "Tapi di Indonesia, justru sudah ada kebijakan, tapi menteri dan anak buah kebijakannya lain. Jadi paradoks di situ," selorohnya.
Dari segi pers, Leo juga mencontohkan seperti Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dianggap mengancam kebebasan pers pada Pasal 309 dan Pasal 310.
"Ada beberapa pasal makin mengancam pers. Padahal wakilnya Jokowi (yang) berbicara mengenai RUU KUHP ialah Menkumham (Yasona Laoly). Mestinya dia ikut kebijakan presiden lindungi kebebasan pers. Ternyata dia tidak melindungi," sesalnya.
Kedua, misalnya Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3). Dalam UU MD3, Leo menerangkan terdapat pasal-pasal yang mengatakan bahwa jika ada pengawasan, kritik maupun koreksi yang dianggap oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) telah mendiskreditkan martabat anggota DPR, maka yang bersangkutan bisa dibawa ke jalur hukum.
"Dan berita itu pasti melalui media massa kan? Dan media massa terancam-lah dengan MD3 ini. Lalu siapa yang melahirkan MD3 ini, Pemerintah kan? Siapa Pemerintah-nya, Yasonna laoly kan?," sebut Leo.
"Mestinya dia tahu presiden menghargai, melindungi dan ingin menegakan kebebasan pers. Tapi menterinya justri ingin mengancam pers. Itu kan paradoks," pungkasnya.