Ukraina- Rusia Memanas, Harga Minyak Melonjak, Dunia Terancam Inflasi

MONITORDAY.COM - Situasi panas di Ukraina makin membara, dunia harus menanggung akibatnya. Rusia berdalih jika Ukraina masuk menjadi anggota NATO, maka ancaman bagi Rusia akan meningkat. Kita pun masih ingat bahwa Rusia pada 2016 silam telah mengambil alih Crimea. Bahkan membangun jembatan kereta api panjang yang menghubungkan daratan Rusia dengan Crimea.
Harga minyak mentah pun melonjak. Tak tanggung-tanggung, mendekati USD 100. Harga setinggi ini tidak pernah terjadi sejak 2014. Di saat dunia sedang bersiap menyambut energi baru dan meninggalkan energi fosil, ternyata tidak semudah membalik telapak tangan.
Raja Minyak lah yang diuntungkan oleh situasi ini. Eksportir energi mendapat manfaat dari lonjakan harga dan pengaruh minyak pada ekonomi tidak seperti dulu. Sebagian besar penduduk dunia akan terpukul. Perusahaan dan konsumen harus menanggung kenaikan tarif energi. Sementara daya beli terhimpit oleh makanan dan transportasi.
Lembaga konsultan ekonomi terpercaya pun angkat bicara. JPMorgan Chase & Co. memperingatkan kenaikan hingga $150 per barel hampir akan menghentikan ekspansi global dan membuat inflasi melonjak hingga lebih dari 7%, lebih dari tiga kali tingkat yang ditargetkan oleh sebagian besar pembuat kebijakan moneter. Analisa ini membuat dunia harus lebih waspada.
Minyak sekitar 50% lebih tinggi dari tahun lalu, bagian dari reli harga komoditas yang lebih luas yang juga menyapu gas alam. Di antara pendorongnya: Kebangkitan permintaan di seluruh dunia pasca-lockdown, ketegangan geopolitik yang dipicu oleh raksasa minyak Rusia dan rantai pasokan yang tegang. Prospek untuk kesepakatan nuklir Iran yang diperbarui terkadang mendinginkan pasar.
Bahan bakar fosil menyediakan lebih dari 80% energi ekonomi global. Dan biaya sekeranjang khas mereka sekarang naik lebih dari 50% dari tahun lalu. Krisis energi juga menambah tekanan yang sedang berlangsung dalam rantai pasokan global, yang menaikkan biaya dan menunda bahan mentah dan barang jadi.
Harga minyak pada $100 pada kuartal ketiga, memperkirakan kenaikan 50% mengangkat inflasi utama rata-rata 60 basis poin, dengan negara berkembang paling terpukul.
Dana Moneter Internasional baru-baru ini menaikkan perkiraannya untuk harga konsumen global menjadi rata-rata 3,9% di negara maju tahun ini, naik dari 2,3%, dan 5,9% di negara berkembang dan berkembang. Kenaikan ini menjadi penanda bahwa inflasi memang sedang dan akan terjadi.
Tiongkok, importir minyak dan pengekspor barang terbesar di dunia, sejauh ini menikmati inflasi yang landai. Tetapi ekonominya tetap rentan karena produsen sudah menyulap biaya input yang tinggi dan kekhawatiran akan kekurangan energi. Perlambatan ekonomi di Negeri Tirai Bambu ini akan berdampak pada perekonomian dunia mengingat besarnya ukuran ekonominya.
Ekonomi dunia tidak lagi boros minyak seperti pada dekade-dekade sebelumnya, terutama tahun 1970-an, dan energi alternatif menawarkan beberapa penyangga. Di A.S. munculnya industri minyak serpih berarti ekonominya kurang rentan terhadap guncangan bahan bakar: Sementara konsumen membayar lebih untuk bensin, produsen dalam negeri meraup cuan. Diperkirakan bahwa setiap kenaikan $10 per barel memangkas 0,1 poin persentase dari pertumbuhan ekonomi.