Turki Baru Meratifikasi Perjanjian Paris. Begini Penjelasannya!

MONITORDAY.COM - Perubahan iklim menjadi risiko dan tanggung jawab bersama semua negara di dunia. Terkait dengan hal itu, Parlemen Turki akhirnya meratifikasi perjanjian iklim Paris pada bulan Oktober 2021 silam. Ratifikasi tersebut menjadikan Turki negara Kelompok 20 terakhir yang melakukannya.
Ratifikasi adalah proses adopsi perjanjian internasional, atau konstitusi atau dokumen yang bersifat nasional lainnya (seperti amandemen terhadap konstitusi) melewati persetujuan dari tiap entitas kecil di dalam anggotanya. Proses ratifikasi konstitusi sering ditemukan pada negara federasi seperti Amerika Serikat atau konfederasi seperti Uni Eropa. Persetujuan parlemen menjadi kunci dalam proses ratifikasi.
Bukan tanpa sebab dan alasan penundaan itu terjadi sekian lama. Turki menunda ratifikasi selama bertahun-tahun karena apa yang dilihatnya sebagai ketidakadilan dalam tanggung jawabnya sebagai bagian dari perjanjian.
Turki telah menandatangani perjanjian iklim Paris sejak April 2016. Keadilan dalam tanggung jawab penanganan perubahan iklim dirasa kurang oleh negara tersebut. Turki tidak boleh dianggap sebagai negara maju sebagai bagian dari perjanjian. Begitu alasannya. Oleh karena itu, perjanjian iklim semestinya tidak membebani Turki dengan lebih banyak tanggung jawab. Secara historis, Turki bertanggung jawab atas bagian yang sangat kecil dari emisi karbon.
Pada pasal 2 Konvensi Wina 1969, ratifikasi didefinisikan sebagai tindakan internasional dimana suatu Negara menyalakan kesediaannya atau melahirkan persetujuan untuk dilingkar-lingkarkan oleh suatu perjanjian internasional. Karenanya ratifikasi tidak berlaku surut, melainkan baru mengikat sejak penandatanganan ratifikasi
Perjanjian internasional yang mengikat secara hukum tentang perubahan iklim ini diadopsi oleh 196 pihak pada COP21 di Paris pada 12 Desember 2015 dan mulai berlaku pada 4 November 2016. Indonesia sebagai salah satu pihak yang menandatangani Perjanjian Paris telah meratifikasi dalam hukum nasional melalui UU Nomor 16 Tahun 2016.
Dalam Perjanjian Paris, semua pihak dengan mempertimbangkan prinsip Common but Differentiated Responsibilities and Respective Capabilities, diharuskan membuat kebijakan dan aksi iklim untuk mencegah suhu bumi tidak melewati ambang batas 2 derajat celsius dan berupaya maksimal untuk tidak melewati ambang batas 1,5 derajat celcius dibandingkan masa pra-industri.
Target untuk menahan kenaikan rata-rata suhu bumi tidak melewati ambang batas 1,5 derajat celcius adalah juga desakan dari masyarakat sipil dan gerakan sosial yang tergabung dalam gerakan keadilan iklim. Keadilan iklim disebut dalam pembukaan Perjanjian Paris yang menyatakan bahwa aksi kebijakan dan proyek untuk melawan perubahan iklim harus memegang prinsip keadilan iklim. Prinsip tersebut tertuang secara rinci dalam dokumen Prinsip-prinsip Bali untuk keadilan Iklim atau Bali Principles for Climate Justice yang disusun pada tahun 2002 oleh organisasi masyarakat sipil dan gerakan sosial dari berbagai negara.