Tidak Terjadi Perang Sipil di Tigray Ethiopia, Ini Kata Dubes Admasu
Tigray People Liberation Front (TPLF) yang melakukan aksi kriminal di wilayah Tigray di Negara bagian Ethiopia.

MONITORDAY.COM - Duta Besar Ethiopia untuk Indonesia, Prof Admasu Tsegaye memastikan tidak ada perang sipil di Ethiopia. Yang terjadi adalah adanya upaya aksi kriminal dari kelompok sakit hati yang tidak berkuasa lagi di negara bagain Tigray.
" Saya tegaskan ini bukan perang sipil, hanya ada kelompok kecil bernama Tigray People Liberation Front (TPLF) yang melakukan aksi kriminal di wilayah Tigray, salah satu negara Federal di Ethiopia," ujar Dubes Admasu saat media briefing di Kedutaan Ethiopia di Jakarta, rabu (25/11/2020).
TPLF menurut Dubes Admasu, kelompok kecil yang pernah berkuasa selama 27 tahun. Selama kepemimpinan mereka, yang ada hanyalah korupsi dan ketimpangan pembangunan yang tidak merata dan membawa Ethiopia pada kemunduran dibandingkan dari negara-negara Afrika lainnya.
Kronologisnya bermula dari gelombang protes mayoritas warga Ethipoia yang menghendaki perubahan, mengingat negeri mereka di bawah TPLF tidak mengalami kemajuan yang signifikan.
Keingin rakyat terwujud, semenjak pucuk pimpinan beralih ke Perdana Menteri Abiy Ahmed yang berkuasa sejak April 2018. Dalam waktu kurang dari delapan bulan setelah berkuasa, Abiy melakukan perubahan masif dan membawa harapan bagi banyak orang di Eithopia. Kebijakannya diaparesiasi karena berani melakukan rekonsiliasi nasional, mengajak berbagai elemen yang berbeda untuk duduk bersama membesarkan Ethiopia.
Abiy membebaskan tahanan politik dan jurnalis yang ditangkap dibawah rezim TPLF karena berbeda pendepat. Bahkan partai politik dan kelompok bersenjata yang diasingkan juga dirangkul kembali mengambil bagian dalam kondisi politik yang damai.
Reformasi hukum digalakkan. Begitupun dengan kebijakan ekonomi yang inovatif dan pro rakyat dilakukannya. Selanjutnya, memulihkan perdamaian antara Ethiopia dan Eriteria. Buntut dari pendekatan humanis yang digunakan Perdana Menteri Abiy Ahmed berbuah manis dan decak kagum dari dunia internasional pun berdatangan.
Ethiopia dengan berbagai image buruk, seketika berubah drastis dan hadiah nobel perdamaian bergengsi pun disematkan kepada Perdana Menteri Abiy Ahmed.
Tampaknya, TPLF tidak puas dengan upaya reformasi transformatif ini, skenario jahat pun digagas untuk menuduh pemerintah pusat dengan berbagai tuduhan yang mengada-ada.
Kelompok gangster ini juga aktif mencitrakan keburuan pemerintah Ethiopa dengan berbagai propaganda yang mengarah pada kehancuran bangsa.
Untuk mewujudkan ambisi ilusi TPLF, Mereka mempersiapkan pasukan misil selama 2 tahun lamanya untuk melakukan aksi-aksi destruktif. Semua tindakan kriminal ini di tempuh oleh kelompok ini untuk mempertahankan status quo agar bisa berkuasa lagi.
" TPLF kerap menjarah sumber daya negara, dengan harapan agar pemerintah pusat merasa takut dan mau memunuhi kenginan bejat kelompok ini," ungkapnya.
Ketika covid-19 mulai merebak dan menjadi ancaman universal, Dewan Pemilihan Nasional (DPN) Ethipoia, Dewan Federasi, dan Parlemen mengumumkan keputusan untuk menunda pemilu karena pandemi covid ini tidak dapat diprediksi.
Namun, TPLF menolak dengan tegas dan melakukan tindakan inkosntitusional dengan membuat lembaga-lembaga negara termasuk DPN yang dengan sengaja memenangkan kelompok mereka. TPLF pun dengan pongahnya memanggil kembali perwakilannya di parlemen pusat untuk mengundurkan diri dan melapor di Tigray.
Pemerintah Ethiopia mencoba merangkul dan bersabar dengan tindakan ilegal TPLF hingga mengajak kelompok tersebut dengan kepala dingin.
Namun Kesabaran ada batasnya, pemerintah pusat sangat geram ketika TPLF dengan bantuan pasukan misilnya melancarkan seranagn bersenjata di komando utara pasukan pertahanan nasional dan pasukan polisi federal pada , Rabu 4 November 2020.
Aksi TPLF ini semata-mata hanya ingin merampok artileri dan peralatan militer yang kemudian menyerang negara tetangga, Ibu Kota Eritrea dengan serangan roket berikutnya ke kota-kota besar negara.
Dubes Adamsu menilai aksi TPLF tidak bisa dimaafkan lagi, serangan roket ini menunjukkan bahwa kepemimpinan TPLF merupakan ancaman bagi perdamaian dan keamanan di wilayah perbatasan. Tidak puas berbuat onar, TPLF juga membantai lebih dari 600 warga sipil di Wilayah Maikadra Tigray.
Untuk mendapatkan simpati internasional, Kelompok ini memaksa warga Tigray meninggalkan kampung halamannya dan mengungsi di Sudan. Namun tidak sedikit warga yang menolak dan akhirnya menjadi korban dari kebuasan milisi TPLF.
Pemerintah Ethiopia juga menghimbau kepada para pelaku makar agar menyerahkan diri dalam waktu 72 jam untuk di proses di pengadilan pusat. Hal ini dilakukan untuk mencegah jatuhnya korban sipil.
" Aparat nasional Ethiopia diperintahkan untuk menegakkan hukum dan memelihara ketertiban di wilayah Tigray untuk menyelamatkan negara tersebut agar tidak jatuh ke dalam ketidakstabilan,:" akuinya.
Pemerintah Ethiopia kembali menegaskan bahwa kekejaman seperti itu tidak dapat ditanggulangi atau diperbaiki dengan duduk di meja untuk negosiasi.
Negosiasi bisa disepakati jika ada niat baik dan keinginan untuk perdamaian. Pemerintah federal bertekad untuk menegakkan supremasi hukum di wilayah tersebut.
Aktor intelektual TPLF harus dimintai pertanggungjawaban untuk menjawab berbagai aksi bejat yang kerap dilakukan. Tidak hanya itu, jika terbukti, maka wajib diadili sesuai perbuatan dan tindakannya.
Pemerintahan Republik Demokratik federal Eithopia saat ini lebih memfokuskan pada pemenuhan kebutuhan dasar warga yakni kebutuhan pokok yang menjadi fokus utama.
Sesuai arahan Perdana Menteri Abiy Ahmed agar semua langkah yang diperlukan untuk memulihkan perdamaian, keamanan, hukum dan ketertiban di negara bagian Tigray.
Dewan Amnesti internasional pun akan segera myambangi Tigray untuk menciduk para pelaku kejahatan.
Untuk saat ini, pemerintah pusat sedang menyalurkan bantuan bagi para korban dan dan pihak-pihak yang ikut terkena dampak aksi bar-bar TPLF.