Sultan dan Gagasan Pindah Ibukota

Sultan dan Gagasan Pindah Ibukota
Sri Sultan Hamenkubuwana IX / net

MONITORDAY.COM - Komitmen dan kontribusi Sultan Hamengkubuwana IX pada Republik Indonesia tak diragukan lagi. Termasuk dalam memberi fasilitas pada republik yang masih belia. Pada 3 Januari 1946, sidang kabinet memutuskan ibu kota dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta. Pemindahan ini pada awalnya merupakan tawaran Sri Sultan dalam sebuah surat yang dikirimkan melalui kurir ke Jakarta.

Pimpinan nasional pun bersegera menuju pusat pemerintahan baru. Di senja itu, 4 Januari 1946, Soekarno, Mohammad Hatta, dan para pejabat negara kala itu berangkat dengan perjalanan kereta luar biasa ke Yogya. Kedatangan mereka di Stasiun Tugu disambut oleh Sultan Hamengkubuwana sendiri.

Untuk kebutuhan pemerintahan RI, banyak gedung di Yogyakarta dijadikan kantor-kantor pemerintah. Salah satunya adalah Gedung Agung menjadi kantor presiden yang hingga saat ini masih menjadi Istana Presiden Indonesia. Selama Yogyakarta menjadi ibu kota, Sultan Hamengkubuwana membantu pendanaan operasional pemerintahan RI.

Selama Yogyakarta menjadi ibu kota, Hamengkubuwana memulai beberapa reformasi. Ia menetapkan seluruh bisnis resmi dilakukan dengan bahasa Indonesia, bukan lagi bahasa Jawa. Ia memberikan sebagian keraton untuk digunakan Universitas Gadjah Mada (UGM), juga menghibahkan lahan di Bulaksumur yang menjadi kampus UGM saat ini. Ia dinilai berhasil mengantisipasi adanya revolusi—seperti yang terjadi di Surakarta dan sebagian besar Sumatra—di Yogyakarta yang dikhawatirkan akan melengserkan dirinya.

Pada tahun 1949 ketika Soekarno-Hatta beserta seluruh jajaran staf kabinet RI harus kembali ke Jakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX menyampaikan pesan perpisahan dengan sangat berat hati. Ujarnya, “Yogyakarta sudah tidak memiliki apa-apa lagi, silakan lanjutkan pemerintahan ini di Jakarta”. Demikianlah Sri Sultan Hamengku Buwono IX menjalankan sabda pandita ratu-nya, sesuai telegram yang beliau kirim dua hari setelah proklamasi, bahwa beliau “sanggup berdiri di belakang pimpinan Paduka Yang Mulia”.

Sultan HB IX begitu dekat dengan Bung Karno. Beliau juga menjadi orang terdekat Pak Harto. Bahkan muncul istilah poros atau trio Soeharto-Sultan-Adam Malik sebagai kekuatan politik yang sangat menentukan saat Orde Baru tumbuh dan berkembang. 

Sultan HB IX telah tiada. Yogyakarta juga tak lagi menjadi ibukota Republik. Namun warisan gagasan, komitmen dan kontribusi Raja Jogja yang sejak usia 4 tahun ikut keluarga Eropa hingga kuliah ke Leiden ini melekat dalam catatan sejarah. Yogyakarta juga menjadi ibukota pendidikan dan kebudayaan.