Sulit Kenakan Pajak Bagi Bisnis Digital Internasional, Kepala BKF : UU 42 Tahun 2009 Perlu Ditinjau Ulang
Organisasi Untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) hingga saat ini masih membahas pemungutan pajak bagi bisnis digital. Selama ini, Indonesia dan beberapa negara lain mengalami kesulitan memungut pajak dari pelaku bisnis digital berbasis internasional atau lintas negara, khususnya yang melayani konten seperti google, facebook dan perusahaan e-dagang internasional.

MONITORDAY.COM - Organisasi Untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) hingga saat ini masih membahas pemungutan pajak bagi bisnis digital. Selama ini, Indonesia dan beberapa negara lain mengalami kesulitan memungut pajak dari pelaku bisnis digital berbasis internasional atau lintas negara, khususnya yang melayani konten seperti google, facebook dan perusahaan e-dagang internasional.
Dalam penerapan pajak bagi bisnis digital di dalam negeri, pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) untuk pelaku bisnis digital yang berkedudukan di Indonesia sudah bisa diterapkan. Namun, kondisi ini tidak mudah untuk diterapkan bagi perusaahan digital internasional.
Terkait hal ini, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Suahasil Nazara angkat bicara persoalan akan sulitnya menerapkan pajak untuk perusahaan digital saat ini.
Dia mengatakan sudah sejatinya penerapan PPH dan PPn juga harus diterapkan bagi perusahaan digital Internasional yang menjual aplikasi dan konten. Apalagi, mereka mendapatkan keuntungan dari berjualan kepada masyarakat Indonesia
"Persoalan ini sedang menjadi perdebatan serta pembicaraan di dunia internasional. Sebab, model bisnis perusahaan digital yang beroperasi lintas negara." ujarnya usai raker dengan Bangar DPR di Komplek DPR, Jakarta, Senin (8/7)
Suahasil mengilustrasikan paltform musik digital Spotify misalnya, mereka menjual jasa kepada seluruh masyarakat di dunia termasuk Indonesia. Sedangkan, kantor operasional mereka berada di Swedia.
"Ini terus digaungkan dalam di setiap hampir setiap rapat G20 dalam beberapa tahun terakhir, sampai dengan G20 menugaskan EOCD untuk membuat suatu study yang akan di laporkan segera. seperti apa konsep pempajakan ini di tingkat nasional nanti harapan kita bisa jadi acuan hasil studynya ini." tutur Suahasil.
Selain itu, dia menambahkan pemerintah Indonesia berencana menggunakan skema pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN sebesar 10 persen terhadap industri digital. Namun Indonesia belum memiliki landasan hukum untuk menerapkan itu terhadap perusahaan yang berbasis di luar negeri atau yang tidak memiliki Badan Usaha Tetap di Indonesia.
Berdasarkan Undang-Undang PPN Nomor 42 Tahun 2009, pajak yang dikenakan terhadap barang pertambahan nilai barang dan jasa, dikenakan terhadap Pengusaha Kena Pajak dengan mewajibkan mereka untuk memungut 10 persen pajak terhadap barang atau jasanya yang di beli konsumen.
“ Karenanya, hal yang memungkinkan untuk menggunakan skema tersebut adalah dengan meninjau ulang Undang-Undang tersebut. Diharapkan perusahaan digital yang berada diluar negeri atau yang tidak memiliki BUT di Indonesia bisa dikenakan wajib pungut,” ungkapnya.
Perlu diketahui, Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi atau The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) merupakan sebuah organisasi internasional dengan tiga puluh negara yang menerima prinsip demokrasi perwakilan dan ekonomi pasar bebas.