Sudut Gelap dalam Serpihan Alur Algoritma

Setelah hampir 1 abad lamanya, ide soal gudang penyimpanan pengetahuan dunia mengubah banyak hal di dunia (internet). Lalu, sampailah kini, kita di tengah serpihan alur algoritma di dalam internet.

Sudut Gelap dalam Serpihan Alur Algoritma
Ilustrasi foto/Net

 

MONITORDAY.COM – Dunia maya heboh lantaran beredarnya video berdurasi pendek yang disebut milik NF, dan diposting sebelum gadis berusia 15 tahun itu menghabisi nyawa bocah berusia 6 tahun di rumahnya, Sawah Besar, Jakarta Pusat pada Kamis (5/2/2020).

Dalam video berurasi 0:22 menit yang dibagikan oleh akun @MahesSyailendra, terlihat NF tengah mengenakan topeng karakter Sally Face. Di Video itu, NF mempertunjukan beberapa gerakan tangan yang menyerupai Sigil of Baphomet. Gerakan yang menyerupa salam tiga jari dan menekuk dua jemari lainnya secara ritmis. Seperti yang dilakukan Sally Face dalam game adventure psychological horror yang dikembangkan Steve Gabry. Olehnya, Sally Face digambarkan dengan sosok gadis berwajah putih dominan dan warna merah, serta berambut biru.

Video ini menambah temuan sejumlah coretan dan gambar mengerikan di kertas milik NF. Gambar itu berupa sosok perempuan yang diikat pada bagian tubuhnya. Gambar perempuan tersebut hanya ditampilkan setengah badan. Berkalung hitam dan nampak tengah mendapatkan siksaan.

Selain gambar perempuan berkalung hitam, ada juga gambar ‘Slenderman’. Pria tanpa wajah dengan banyak lengan, mirip tentakel gurita. Badan Slenderman sangat tipis dan sarat dengan kesan misterius. Slenderman juga disebut makhluk gaib yang kurus dan sangat tinggi.

Baik gambar, video, maupun coretan-coretan itu kini tengah dicocokan dengan keterangan NF saat menjalani penyidikan.

Inspirasi dari sudut gelap

Berdasarkan laporan Tech Crunh, Slenderman adalah karya seniman Eric Kudsen yang memakai nama samaran Victor Surge di internet. Tanggal lahir Slenderman adalah 8 Juni 2009 di situs forum SomethingAwful. Di situs itu, ada sebuah thread yang mengajak para pengguna memposting karya mereka yang bernuansa mistis. Victor Surge pun mengirimkan Slenderman.

Menurut pengakuan sang creator, Slendeman terinspirasi dari karya-karya sastra karangan Stephen King dan H.P. Lovecraft. Lainnya, mengaku terinspirasi video game dan web series horror.

Anissa Weier dan Morgan Geyser adalah dua gadis berusia 12 tahun asal Amerika yang juga mengagumi sosok Slenderman. Karakter tersebut disebut-sebut menginspirasi kasus percobaan pembunuhan yang mengguncang Amerika 2014 silam. Mereka tega menikam teman sebayanya sebanyak 19 kali di sebuah hutan di Milwaukee.

Beruntung, korban selamat. Sang korban, Payton selamat lantaran pisau yang ditusukkan ke tubuhnya tak mengenai organ vital. Ia yang kepayahan merangkak ke luar dari hutan dan diselamatkan seorang pengendara sepeda.

Kepada polisi, para pelaku mengaku monster itu yang menyuruh mereka membunuh. Mereka merencanakan serangan itu selama berbulan-bulan, untuk memuaskan Slenderman.

Baik NF di Sawah Besar, maupun Anissa Weier dan Morgan Geyse di Milwaukee mungkin adalah dua kasus serupa yang kebetulan terungkap. Bayangkan seandainya ada banyak anak yang telah terpengaruh oleh hal sama. Entahlah, yang pasti nominator Academy Award Irene Taylor Brodsky pernah membuat film dokumenter dari kasus-kasus tersebut. Ia bermaksud menunjukkan kekuatan dan pengaruh fenomena internet seperti meme Slenderman. Irene pun menyelami sudut gelap dunia maya, dan menemukan mereka yang berpikiran rapuh ternyata banyak yang tersesat.

Sudut Gelap Dunia Maya

Setelah hampir 1 abad lamanya, ide soal gudang penyimpanan pengetahuan dunia mengubah banyak hal di dunia (internet). Lalu, sampailah kini, kita di tengah serpihan alur algoritma di dalam internet.

Betapapun algoritma merupakan kunci dari semua perubahan mutakhir yang saat ini terjadi, dan banyak orang yang berkelakar ‘apa yang terjadi jika di dunia ini tidak ada algoritma’, tapi tetap saja memiliki sisi lain yang disebut Irene Taylor sebagai sudut gelap dunia maya.

Algoritma secara tak langsung berkontribusi menciptakan apa yang disebut sebagai echo-chamber (ruang gema). Kondisi dimana seseorang menerima informasi, ide dan gagasan homogen secara berkala. Algoritma pun membuat filter sehingga pandangan lain tidak dapat masuk dalam ‘ruang’ itu.

Lebih lanjut, algoritma memungkinkan user meraih informasi sesuai riwayat penggunaannya, secara perlahan tapi pasti informasi yang dipasok disesuaikan dengan preferensi yang dikehendaki. Sementara yang tak sesuai akan tersingkir dengan sendirinya.

Pernah kah kita bertanya dan mencari tahu, kenapa Feed Facebook atau timline media sosial selalu berbeda satu sama lain dan seolah mengerti apa yang ada di kepala kita? Jawabannya adalah algoritma.

Sekarang mari bayangkan, bagaimana jika anak-anak kita masuk ke dalam browser lalu bergerak berdasarkan alur algoritma itu. Bukankah anak-anak kita tersebut akan diarahkan pada sesuatu yang homogen itu. Lalu ketika ia mulai suka, informasi serupa pun mulai dipasok. Lalu lambat laun, kepalanya penuh dengan informasi tersebut dan puncaknya karakter anak pun akan mulai terbentuk.

Haidar Bagir adalah Ketua Yayasan Lazuardi. Lulusan Harvard University dan banyak berkecimpung dalam dunia pendidikan. Dalam diskusi santai yang dihelat di ruang kerjanya, di Jakarta Selatan (25/2/2020), dia mengisahkan ada seorang anak di Brazil yang awalnya hanya ingin belajar alat musik (gitar). Singkat cerita, kata Haidar, si anak pun berselancar di internet dan menemukan tutorial yang disampaikan seseorang yang ternyata berpikiran radikal. Tanpa disadari apa yang disampaikan si pengajar tersebut masuk dalam otaknya, dan mempengaruhinya berlaku radikal. Tak lama kemudian, kata Haidar, terror pun terjadi.

Haidar menjelaskan, jika setiap hal selalu ada baik dan buruknya, termasuk algoritma. Baginya, persoalan algoritma ini adalah persoalan daya kritis. Jika orang terlalu berhubungan dengan gadget maka ia kan masuk dalam browser dan terjebak dalam serpihan alur algoritma.

“Kalau kita nonton Youtube, nanti kita akan disarankan ini dan itu. Akibatnya privasi hilang, dan kita didikte oleh algoritma”, ujarnya.

Algoritma dan internet secara lebih luas sejatinya, menurut haidar, memisahkan interaksi kita dengan alam. Algoritma dan internet telah merampas dan menghilangkan spiritualitas. Mengurangi waktu bersosialisasi dengan masyarakat.

Menurut Haidar, screen time pada anak-anak kita harus dibatasi. Lebih lanjut kata Haidar, jika di sekolah sudah pegang komputer, maka di rumah diminimalisasi. “Jangan di rumah pegang gadget, di sekolah dikasih gadget lagi, jadi kepala dia penuh karena gadget,” sarannya.

Oleh karena itu, American Academy of Pediatrics (APP) tidak merekomendasikan penggunaan media pada anak kurang dari 2 tahun. Di masa itu, anak sedang mengalami perkembangan kognitif, bahasa, sensorik-motorik dan kemampuan emosionalnya.

Sementara untuk anak yang berusia lebih dari 2 tahun, maka APP menganjurkan screen time mereka tidak lebih dari 2 jam setiap harinya. Karena makin banyak waktu dihabiskan di dunia maya, makin besar peluang anak terpapar materi yang tak sesuai dengan usianya. Jika tak diberi batasan, mereka dengan cepat akan mengalami adiksi terhadap internet dan terjebak dalam sudut gelap di dunia maya.