Soal Minyak Goreng, Akademisi UMC Soroti Pasar Oligopoli

MONITORDAY.COM - Akademisi Universitas Muhammadiyah Cirebon (UMC) Johan menilai pasar minyak goreng di Indonesia berbentuk oligopoli sehingga harga minyak goreng yang rigid atau kaku dan terus naik. Tidak bergerak mengikuti sesuai permintaan dan pasokan pasar.
Menurut Johan, oligopoli adalah kondisi pasar yang dikendalikan oleh segelintir sedikit perusahaan, sehingga mereka bisa menentukan harga.
"Pasar oligopoli minyak goreng di tanah air memang sudah tercipta beberapa dekade yang silam. Pemainnya dari dulu itu-itu saja. Mereka tidak hanya menguasai pasar di hilir tapi punya kebun yang luas di hulu," Ucap Johan di diskusi Virtual Kopi Pahit Monday Media Group (MMG), Kamis (3/3/2022).
Johan mencatat perusahaan asal Malaysia mengakuisisi 5 perusahaan perkebunan sawit nasional sepanjang 2021. Adapun, secara keseluruhan terdapat 10 akuisisi perusahaan perkebunan sawit yang dilakukan oleh perusahaan besar.
Mengutip pernyataan Ketua KPPU Ukay Karyadi, Johan menilai struktur bisnis minyak goreng dalam negeri cenderung dikuasai oleh segelintir korporasi besar yang memiliki kekuatan untuk mengontrol harga. Sementara akuisisi itu juga memperlihatkan luasan perkebunan sawit milik rakyat atau perusahaan skala menengah menciut setiap tahunnya.
Indonesia merupakan negara penghasil minyak kelapa sawit dunia terbesar setelah Malaysia. Bahkan diperkirakan tahun 2010 Indonesia akan menjadi negara penghasil kelapa sawit terbesar menggantikan posisi Malaysia. Perkembangan industri minyak kelapa sawit Indonesia selama periode 22 tahun terakhir sangat pesat dimana terjadi penambahan produksi sebesar
13.220.338 ton atau meningkat sebesar 648% (Ditjen Perkebunan, 2007). Berkembangnya Industri kelapa sawit Indonesia berkaitan dengan semakin meningkatnya penggunaan minyak sawit untuk konsumsi minyak makan dunia, yaitu menjadi 30,1% dari total konsumsi minyak makan dunia.
Dengan Indonesia memegang pangsa pasar kedua terbesar di dunia dan di dukung pula oleh kebijakan yang digunakan Pemerintah dalam mengendalikan harga minyak goreng, seperti kebijakan pungutan ekspor, tidak lantas membuat Indonesia dapat mengendalikan harga minyak goreng dalam negeri.
Sejak tahun 1999 harga minyak goreng terus melambung tinggi bahkan pada awal tahun 2008 harga minyak goreng mencapai Rp. 15000/kg (Departemen Perindustrian, 2008). Banyak pihak yang mengatakan bahwa naiknya harga minyak goreng sawit di Indonesia terkait dengan kenaikan harga CPO dunia akibat dari permintaan CPO yang semakin meningkat tiap tahunnya.
Hal ini membuat para pelaku usaha CPO domestik lebih memprioritaskan menjual hasil komoditinya ke luar negeri karena keuntungannya akan jauh lebih besar sehingga membuat pasokan CPO untuk pengolahan minyak goreng dalam negeri terbatas.
Selain itu dugaan lain tentang naiknya harga minyak goreng yang terjadi beberapa tahun terakhir disebabkan kemungkinan terjadi persaingan yang tidak sehat akibat adanya perilaku dominasi atau persekongkolan dari beberapa perusahaan pengolah minyak kelapa sawit dalam penetapan harga minyak goreng sawit.
Terus melonjaknya harga minyak goreng beberapa tahun belakangan ini menimbulkan persepsi liar.
Johan berharap Pemerintah perlu mengintervensi pasar. Bagaimanapun, kalangan pedagang mengeluhkan soal minimnya intervensi pemerintah dalam stabilitas harga pada sejumlah komoditas pangan, seperti minyak goreng.
Selain minyak goreng, harga telur yang merangkak naik di sebagian besar pasar tradisional.
Oleh karena itu, Johan mengimbau Kemendag lebih serius bukan hanya menangani kemelut jangka pendek, namun pembenahan sistem logistik minyak goreng dalam jangka panjang.
Harga eceran tertinggi harus didasarkan oleh sistem pasokan yang terkendali untuk menstabilkan pasokan kepada konsumen tanpa merugikan pedagang.
Tentunya ada tahapan darurat untuk titik-titik kritis dan ada tahapan transisi untuk produksi dan distribusi barang yang dibandrol dengan harga eceran pemerintah.
Bila perlu pemerintah dapat membeli kembali stok dengan harga lama yang sudah keburu dibeli oleh para pedagang supaya tidak ada penimbunan.