Ridwan Kamil Minta Polda Jabar Selidiki Kasus Sertifikat Vaksin Ilegal

Ridwan Kamil Minta Polda Jabar Selidiki Kasus Sertifikat Vaksin Ilegal
Gubernur Jawa Barat (Jabar), Ridwan Kamil (Kiri)/ Istimewa.

MONITORDAY.COM - Gubernur Jawa Barat (Jabar), Ridwan Kamil meminta Polda Jabar menyelidiki kasus sertifikat vaksin ilegal. Ia mengaku khawatir jika sertifikat vaksin ilegal ini dilakukan oleh sindikat berskala besar. 

"Saya titip ke Pak Kapolda jangan-jangan ini ada komplotan atau skalanya masif. Jadi kita harus selidiki apa ini hanya receh kecil atau sistematis. Kewenangan dan penanganan di Polda Jabar yang terus kita tingkatkan untuk meraih kepercayaan publik," kata Ridwan Kamil dalam keterangan pers virtual, Selasa (14/9/2021). 

Menurut dia, kasus tersebut sudah menjadi bagian dinamika selama pandemi. Maka dari itu, Ridwan Kamil pun berharap Polda Jabar bisa maksimal dalam mengusut kasus tersebut. 

"Ada tindakan pidana Polda Jabar menangkap mantan relawan yang menjual sertifikat vaksin itu bagian dinamika. Kriminalitas selalu ada dalam proses (selama pandemi) Covid-19, mulai dari kriminalitas bansos, sertifikat vaksin. Saya kira jawaban sederhana setiap ada pelanggaran hukum, Polda Jabar akan tegas melakukan penindakan," tuturnya. 

Sebelumnya, polisi berhasil mengungkap praktik sindikat pembuatan sertifikat vaksin ilegal tanpa melakukan vaksinasi. 

Dalam kasus tersebut, empat orang tersangka berhasil ditangkap. Para tersangka ini di antaranya JR, IF, MY, dan HH. 

Keempat tersangka itu menjalankan aksinya dengan peran yang berbeda dalam kasus yang sama. 

Adapun dua di antaranya merupakan eks relawan vaksinasi yaitu JR dan IF, selanjutnya MY dan HH merupakan pemasar yang menawarkan jasa pembuatan sertifikat vaksin ilegal tersebut. 

"Ini ilegal authorization atau penyalahgunaan wewenang aplikasi tersebut," sebut Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Jabar Kombes Arif Rachman di Mapolda Jabar, Kota Bandung, Selasa (14/9/2021). 

Arif menyebutkan, kasus ini bermula saat munculnya tren aplikasi PeduliLindungi yang menjadi syarat pengecekan vaksinasi. 

Lalu, Tim Subnit I Ditreskrimsus Polda Jabar yang dipimpin oleh AKBP, Andry Agustino melakukan patroli siber dan penelusuran. 

Polisi kemudian mendapati jasa pembuatan sertifikat vaksin tanpa penyuntikan vaksin yang ditawarkan para tersangka secara onlinemelalui media sosial. 

Sertifikat vaksin ilegal ini dapat diterbitkan lantaran dua orang tersangka yang merupakan eks relawan vaksinasi itu memiliki akses dengan memasukan data pemesan saat proses vaksinasi. 

"Karena tersangka ini dasarnya relawan saat vaksinasi sehingga memiliki akses. Beda kasus dengan ilegal akses, kalau ini ilegal authority. Punya akses dan mencantumkan data palsu, padahal belum divaksin," tuturnya. 

Setiap pemesanan, tersangka mematok harga senilai Rp 100 ribu hingga Rp 300 ribu setiap per sertifikatnya. 

Usai pemesan memberikan data dan nomor NIK, tersangka IF dan JR kemudian menginputnya melalui situs Primary Care. 

"Pemesan akan mendapatkan sertifikat vaksin Covid-19 tanpa melakukan penyuntikan vaksin terlebih dahulu," terangnya.  

Sementara itu, Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Jabar, Komisaris Besar Polisi Erdi A Chaniago menyebutkan, bahwa pengungkapan praktik pembuatan sertifikat vaksin ilegal ini terjadi pada tanggal 26 Agustus, dan pada tanggal 6 September 2021. 

Adapun keuntungan dari tersangka JR atas sertifikat vaksin ilegal yang dikeluarkannya itu sebesar Rp 1,8 Juta, sedangkan bagi tiga tersangka IF, MY, dan HH mendapat sebesar Rp 7,8 juta 

Atas perbuatannya, pelaku JR dijerat pasal 62 ayat (1) Jo pasal 9 ayat (1) huruf C UU RI No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, ancamannya 5 tahun penjara dan denda Rp 2 miliar. 

Setelah itu, pasal 115 Jo pasal 65 ayat (2) UU RI no.7 Tahun 2014 tentang perdagangan ancamannya 12 tahun penjara dan denda Rp 12 miliar. 

Demikian, tiga pelaku IF, MY, dan HH pasal 46 ayat (1) Jo Pasal 30 ayat (1) dan pasal 51 Jo pasal 35 UU RI no.19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU RI No. 11 Tahun 2008 tentang ITE dan pasal 55 ayat 1 ke-1, 56 KUH Pidana dengan hukuman penjara 12 tahun pidana. 

"Tersangka dijerat pasal berlapis," ucap Erdi.