Respon Positif Kebijakan Mendikbud, Rektor IPB Sebut Pihaknya Sudah Menerapkan 'Kampus Merdeka' Sejak 2005
Bagi IPB kebijakan tentang mengambil kuliah 3 semester bukan hal yang baru, pelaksanaannya sudah diterapkan sejak 2005.

MONITORDAY.COM - Rektor Institute Pertanian Bogor (IPB), Prof Arif Satria memberi respon positif terkait paket kebijakan Mendikbud Nadiem Makarim yang dikenal dengan istilah "Merdeka Belajar:Kampus Merdeka".
Setidaknya ada empat poin kebijakan Kampus Merdeka, yakni pembukaan Prodi baru, kuliah 3 semester di luar Prodi/kampus, re-akreditasi kampus, dan kemudahan PT menjadi PTN-BH.
Terkait kebijakan bagi Perguruan Tinggi (PT) untuk membuka Program Studi (Prodi) baru, Arif mengaku sangat mendukung hal itu. Menurutnya, Prodi itu sifatnya 'on off' sesuai dengan kebutuhan pasar, sesuai dengan kebutuhan zaman. Karena itu, ia menilai Prodi di setiap kampus harus dinamis.
"Jadi tidak bisa kita dengan Prodi seumur hidup. Dan itu harus ada inovasi-inovasi apalagi dengan era sekarang ini, yang membutuhkan kompetensi-kompetensi baru, membutuhkan keahlian-keahlian baru, banyak pekerjaan yang harus hilang dan banyak pekerjaan pula yang sekarang muncul," ujar Arif yang juga Ketua Forum Rektor Indonesia di Kampus IPB, Senin (24/02/20) lalu.
Lebih lanjut ia menambahkan, kebijakan Mendikbud Nadiem soal Prodi telah membuka jalan untuk lahirnya berbagai inovasi dan creativity dalam dunia kampus.
“Dan saya kira sekarang sudah dibuka kerannya," pungkasnya.
Tak hanya itu, Arif juga menanggapi kebijakan Mendikbud terkait kebebasan mahasiswa untuk mengambil mata kuliah selama 3 semester di luar Prodinya. Menurutnya hal itu sangat bagus untuk diterapkan di Perguruan Tinggi di seluruh Indonesia. IPB sendiri, lanjut Arif, sudah menerapkan substansi dari kebijakan tersebut sejak Tahun 2005.
"Jadi bagi IPB bukan hal yang baru, kita mengambil lintas prodi, kemudian kita mengambil di luar kampus, itu suatu hal yang biasa saja, artinya sesuatu yang saya kira bagus diterapkan di Nasional, buat IPB suatu hal yang sudah diterapkan sejak 2005,” ujarnya.
Sementara itu, berkaitan soal kebijakan selanjutnya yakni tentang re-akreditasi PT, Arif mengatakan, hal itu merupakan terobosan yang sangat bagus. Ia kemudian menjelaskan, banyak pihak yang salah persepsi dengan menilai kebijakan akreditasi yang dianggap jadi volunteer atau jadi sukarela.
"Itu sesuatu yang artinya hanya salah persepsi saja. Akreditasi itu wajib, hanya saja menjadi kebebasan perguruan tinggi untuk mau mendapat Akreditasi A atau internasional dan sebagainya," terangnya.
Sementara itu, mengenai kebijakan kemudahan PT menjadi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) Berbadan Hukum (BH), Arif menyebut hal itu bukan paksaan. Sebab mempunyai keleluasan secara finansial, pengelolaan aset, pengelolaan SDM, dan sebagainya.
"Memang tidak semua perguruan tinggi siap untuk bisa masuk ke sampai jenjang PTN-BH. Sehingga yang dilakukan oleh Mas menteri bukan memaksa, tetapi membuka ruang dan mempermudah," katanya.
“Jadi saya kira itu kebijakan yang tepat dan namun demikian kita harus sadar juga bahwa di Indonesia ini kan, perguruan tinggi berlapis-lapis, semua kualitasnya belum rata, nah ini, kita harus coba dibuat nanti namanya Recludetary Impact Assesment, pemerintah untuk bisa melihat
sejauh mana dampak dari kebijakan ini terhadap keragaman perguruan tinggi,” ujarnya," tutupnya kemudian.