PLN Jadi 'Leading Sector' Dalam Tekan Emisi Karbon dan Dorong Pemulihan Ekonomi

PLN sudah cukup maju dengan mencapai proporsi 14%, sebagai energi primer pembangkit tenaga listrik sebesar 64,5 GW yang sudah terpasang.

PLN Jadi 'Leading Sector' Dalam Tekan Emisi Karbon dan Dorong Pemulihan Ekonomi
Ilustrasi/ Dok. Humas PLN

MONITORDAY.COM - Berdasarkan hasil laporan dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), besaran konsumsi energi nasional ternyata selama ini sebagian besar masih ditopang dari BBM (38%), listrik (18%) dan batu bara (11%) dengan estimasi kebutuhan 875 Setara Barel Minyak/SBM pada 2018 ke 2019. 

Adapun, dari konsumsi energi nasional yang ada yaitu, proporsi terbesar ada pada tiga sektor, sektor transportasi (40%), sektor industri (38%) dan sektor rumah tangga (15%). Dan tentu penyumbang emisi karbon dioksida pada sektor transportasi dan industri, karena kedua berbasis pembakaran BBM dan batu bara. 

Meski demikian, penekanan emisi karbon dioksida bisa terjadi jika ada alih penggunaan dalam bahan baku energi primer. Misalnya mengantikan bahan baku primer gas dan batu bara ke gasifikasi. Dalam konteks ini pembangkit listrik bisa menjadi salah satu pelopor, dari transformasi energi hijau ramah lingkungan. 

Direktur Kajian Said Aqil Siroj Institute, Abi Rekso menyambut baik jika pemerintah mendorong pengembangan energi rendah emisi. Dalam pandangannya, Indonesia adalah salah satu negara yang menyetujui Paris Agreement sebagai negara yang akan menekan emisi karbon dioksida. 

Sedangkan Indonesia sebagai negara yang memilki potensi cadangan gas dan Energi Baru Terbarukan (EBT). Tentu komitmen ini menjadi salah satu acuan orientasi dalam pengelolaan energi nasional kita.

“Yang paling mungkin reformasi dalam energi, dimulai dari tenaga pembangkit listrik. Sesuai dengan komitmen pemerintah, kita perlu menuju bauran energi EBT minimal pada tingkat 23% di tahun 2025, namun menuju kesana kita perlu bertransformasi tahap demi tahap. PLN sudah cukup maju dengan mencapai proporsi 14% EBT, sebagai energi primer pembangkit tenaga listrik sebesar 64,5 GW yang sudah terpasang. Bukan tidak mungkin dalam beberapa waktu ke depan proporsi penggunaan EBT primer ditingkatkan menjadi 22%, mengambil alih dari proporsi BBM (7%). Tentu, kita juga tetap harus realistis karena 50% energi dasar pembangkit listrik masih ditunjang dari batu bara. Harapannya tentu kedepan sektor transportasi juga bisa beralih ke listrik dengan energi primer EBT secara bertahap.” jelas Abi Rekso.

Menurut Abi Rekso, selama ini dalam skema ketenagalistrikan nasional, kebutuhan listrik perkapita nasional akan meningkat pada 2025, menjadi 2.030 kWh/kapita (dengan skema BaU). 

Bahkan, agar tetap menjalankan komitmen 23% EBT pada 2025, transformasi energi primer pembangkit listrik dari batu bara ke EBT harus dipercepat. Karena jika mengacu dari ambisi Kebijakan Energi Nasional (KEN), pada 2050 diproyeksikan pembangkit Energi Baru Terbarukan (ETB) harus bisa menghasilkan 258,9 GW. Mensuplai hampir dari setengah produksi tenanga listrik secara keseluruhan pada 2050.

Lebih lanjut, Abi Rekso mengatakan secara bisnis dengan situasi pandemi yang berkonsekuensi pada menurunnya kebutuhan konsumsi energi listrik industri, bisa dijadikan momentum untuk melakukan transformasi dan akselerasi EBT di beberapa pembangkit yang memungkinkan. Selain itu, dalam garis kebijakan pemerintah transformasi EBT sebagai energi primer dipusatkan pada kebutuhan industri. 

Diketahui, pemerintah memperkirakan jumlah investasi dari pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) mencapai 579 T, dengan penekanan pada sektor air, geotermal dan tata surya (PLTA, PLTP dan PLTS). 

Disisi lain, Abi Rekso menilai ini menjadi salah satu peluang yang menarik bagi investor. Begitu Abi Rekso meneruskan pemaparannya.

“Kemarin Pak Erick Thohir, membenahi Dana Reksa dan Perusahaan Pengelola Aset. Keduanya adalah unit BUMN yang bergerak dibidang investasi. Ini sinyal baik bagi PLN untuk melihat peluang mencari mitra investasi dalam rangka transformasi energi menuju 23% EBT pada 2025. Ini saatnya lepas landas go global bersaing dengan perusahaan listrik dunia.” pungkasnya. 

Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)Arifin Tasrif mengeluarkan peryataan bahwa Indonesia perlu mulai konsentrasi pada pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT). Kemudian, Menteri ESDM juga menyatakan EBT juga bisa menjadi potensi pemulihan ekonomi. 

“EBT dapat menjadi strategi kita dalam mendorong pemulihan roda perekonomian nasional pasca pandemi Covid-19," kata dia dalam Launching Virtual The 9th Indo EBTKE ConEx 2020, Jumat (9/10).

PLN juga mempunyai rencana besar dalam pemanfaatan energi terbarukan. Tak tanggung-tanggung, perusahaan setrum negara itu berencana meningkatkan dua kali lipat pembangunan pembangkit EBT dalam lima tahun ke depan. "Kapasitas terpasang EBT saat ini baru mencapai 7,8 gigawatt. Kami akan double menjadi 16,3 gigawatt," kata Wakil Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo pada Rabu pekan lalu. 

Pasokan listrik nasional sejauh ini masih didominasi oleh pembangkit listrik berbahan bakar fosil. PLN punya beberapa strategi untuk mendorong penggunaan EBT.