Perpres Bernomor 10 dan Political Will Presiden

MONITORDAY.COM - RUANG-RUANG digital kita tetiba gaduh, gegara Perpres tentang Badan Usaha Penanaman Modal (BUPM) bernomor 10 itu. Padahal, semangat awal Perpres itu murni dalam koridor peningkatan ekonomi rakyat. Untuk pemberdayaan masyarakat setelah diterjang badai Covid-19 setahun ke belakang.
Namun kemunculan Perpres ini ‘bagai buah simalakama’, serba salah pokoknya. Jadi isu liar karena kadung jadi isu pelegalan investasi dalam industri minuman keras beralkohol. Padahal, sebelum adanya Perpres ini pun, lapo-lapo Tuak itu ramai sudah.
Bermula dari berita tentang Perpres BUPM yang muncul di media tanggal 24 Februari 2021. Ruang-ruang digital kita lalu penuh sesak oleh narasi-narasi yang menolak investasi miras. Dikatakan dalam Perpres tersebut, investasi industri miras dibatasi hanya di 4 provinsi; Bali, NTT, Sultra, dan Papua.
Dari situ, tren percakapan di media sosial meningkat tajam. Mulai dari riak-riak kecil, lalu jadi gelombang setelah para ulama, tokoh agama dan para influencer ikut meneriakan upaya penolakan atas Perpres tersebut. Mulai dari tokoh Muhammadiyah, NU, dan MUI semua bernada penolakan.
Bahkan, masyarakat Papua yang sebelumnya mendapat stigma sebagai pihak yang berbudaya miras dikabarkan memberikan penolakan serupa. Ini sejalan dengan apa yang disampaikan Gubernur Papua, Lukas Enembe dalam bukunya ‘Papua: Antara Uang dan Kewenangan’ yang dengan tegas menolak peredaran miras di tanahnya.
Sang Gubernur, bahkan mengklaim jika sejak awal kepemimpinannya sudah terang-terangan menyebut miras sebagai musuh bersama, karena jadi penyebab nomor 1 kematian para pemuda di Papua (buku antara uang dan kewenangan, 2014). Mereka menolak stigma ini.
Di tengah tren percakapan penolakan investasi miras di sosial media yang selalu riuh ramai, di sudut-sudut komplek perumahan ketika nyuri-nyuri waktu di tengah WFH, maupun di warung-warung kopi yang gemar melakukan tranformasi, Presiden Jokowi pun hadir ke hadapan publik. Mengambil inisiatif untuk menjadi konsolidator demokrasi, dan menyatakan mencabut lampiran tentang investasi miras dalam Perpres tersebut.
"Bersama ini saya sampaikan, saya putuskan lampiran Perpres terkait pembukaan investasi baru dalam industri minuman keras yang mengandung alkohol saya nyatakan dicabut," kata Jokowi dalam tayangan video YouTube Sekretariat Presiden.
Menurut Jokowi, keputusan ini diambil setelah menerima masukan dari berbagai organisasi masyarakat keagamaan serta pemerintah daerah. "Setelah menerima masukan-masukan dari ulama-ulama MUI, Nahdlatul Ulama NU, Muhammadiyah dan ormas-ormas lainnya, serta tokoh-tokoh agama yang lain, dan juga masukan-masukan dari provinsi dan daerah," ujar Jokowi.
Publik pun terhenyak, dikira Presiden pilihan saya itu akan mbalelo, keukeuh meureukeuh, menentang arus utama. Nyatanya dia tak begitu. Punya political will untuk mencabut lampiran Perpres Nomor 10 tahun 2021 terkait pembukaan investasi baru dalam industri minuman keras.
Kemauan Politik Jokowi
Saya seirama dengan Ketua Umum PP Muhammadiyah, jika langkah yang diambil Presiden Jokowi tersebut telah menunjukkan Pemerintah bersikap demokratis dan legowo atas aspirasi dan keberatan luas umat beragama khususnya umat Islam, termasuk di dalamnya Muhammadiyah.
Saya juga sejak awal setuju, dan mendukung sikap PP Muhammadiyah, yang telah secara resmi menyampaikan penolakan dan meminta pencabutan atas Perpres tersebut.
“PP Muhammadiyah juga secara resmi telah menyampaikan penolakan dan minta pencabutan atas Perpres tersebut. Langkah pencabutan Perpres tersebut oleh Presiden merupakan sikap politik yang positif dan menunjukkan keterbukaan pemerintah atas kritik dan masukan konstruktif masyarakat demi kemaslahatan bangsa,” tutur Pak Haedar pada Selasa (2/3).
Pemerintah tentu memahami bahwa masalah miras bukan hanya urusan umat beragama semata yang tak hanya diharamkan dalam Agama, tetapi juga dapat merusak mental dan moral bangsa. Dan kini, lampiran Perpres itu pun telah dicabut.
Dari dinamika dan keputusan bijak dari Presiden Jokowi tersebut, saya mengikat beberapa utas makna simbolik. Pertama, keputusan tersebut menggambarkan wajah demokrasi kita, yang katanya tengah menurun kualitasnya. Ini sejalan dengan apa yang dikatakan Adam Ferguson dalam bukunya An Essay on History of Civil Society (1773), bahwa pada dasarnya pemberdayaan masyarakat merupakan perwujudan citra negara demokratis.
Baik semangat awal lahirnya Perpres tersebut, maupun upaya berani Jokowi tampil ke muka publik untuk mempertanggungjawabkan rumusan yang dibuat para pembantunya, adalah bagian dari upaya memberdayakan masyarakat, dan memajukan demokrasi.
Ada kemauan politik yang cukup kuat dari Presiden Jokowi, dari negara (political will state) untuk memajukan demokrasi. Dengan diwadahinya aspirasi para ulama, tokoh agama lainnya untuk menentukan arah bangsa.
Ini menampik stigma yang dilontarkan sebagian orang bahwa kualitas demokrasi di era Jokowi terjun bebas. Sebaliknya, sejatinya bergerak naik.
Makna lain yang mampu saya ikat, konteks ini memperlihatkan jika ada komitmen yang kuat dari masyarakat politik indonesia, untuk mempertahankan moral bangsa, tak tergiur sedikit pun untuk memungkinkan investasi yang sebetunya tak gede-gede amat namun mahal ongkos politiknya tersebut (investasi miras).
Masyarakat kita sejatinya, bisa disatukan untuk membangun bangsa. Jika para tokoh politik, agama, ormas dan sebagainya bersatu padu. Saling berbagi ide dan melontarkan gagasan.
Saya juga mengikat makna tentang menguatnya peran civil society kita dalam menjaga moral dan kualitas demokrasi. Tidak saja dalam percakapan media sosial, namun juga dalam praktik dan kebijakannya.
Tinggal selanjutnya kita menjalankan apa yang disebut Ibnu Taimiyah sebagai rumus atau etika dalam melontarkan ide, gagasan, atau kritik.
Etika pertama kata beliau adalah ikhlas. Menurutnya, Islam mengatur etika dalam menyampaikan kritik, diantaranya dengan keikhlasan. Kita tidak boleh melancarkan kritik dengan tujuan menonjolkan diri, termotivasi oleh hasad (dengki) atau tendensi tertentu, namun demi meraih ridha Allah.
Ibnu Taimiah dalam al-Fatawa juga menyebut, jika etika menyampaikan kritik dan masukan mesti berdasarkan ketaatan kepada Allah. Berniat memperbaiki kondisi orang lain dan menegakkan hujjah atasnya, bukan untuk mencari kedudukan apalagi untuk ‘melecehkan’ orang lain.
Kritik dan saran, kata beliau, juga harus disampaikan dengan ilmu. “Hendaknya setiap orang yang melakukan amar maruf nahi munkar adalah seseorang yang alim terhadap apa yang dia perintahkan dan dia larang,” kata Ibnu Taimiah.
Last, but not least, sampaikan kritik dan saran baik di ruang-ruang digital atau dimana pun dengan lembut dan santun. Karena kelembutan dan kesantunan akan memudahkan setiap perkara. Di titik inilah yang sulit saat ini.