Pentingnya Kesadaran Literasi Bencana
Memahami bencana sebenarnya adalah memahami risiko.

INDONESIA merupakan salah satu negara dengan tingkat bencana yang tinggi. Letak geografis Indonesia yang berada pada pertemuan tiga Lempeng Tektonik Dunia, menjadi sebab bencana kerap kali mendera negeri kepulauan ini. Data dari Badan Nasional Penanggulangan Bancana (BNPB) menunjukan, sepanjang tahun 2019, hingga Bulan Agustus, telah terjadi sebanyak 1.998 kali bencana alam, dan telah memakan 445 korban jiwa.
Jumah korban dan dampak dari bencana seharusnya bisa diminalisir dengan adanya pengetahuan masyarkat tentang kebencanaan. Tingkat literasi masyarakat Indonesia yang rendahm yaitu menempati peringkat kedua terakhir dari 61 negara, juga membuat pengetahuan tentang kebencanaan masyarakat Indonesia masih kurang.
Misalnya kasus di Aceh, para ahli geologi dan arkeologi telah menemukan jejak terjadinya bencana tsunami di daerah tersebut. Hal itu membuktikan bahwa tsunami telah beberapa kali menerjang provinsi yang mempunyai julukan Serambi Mekah itu. Namun, karena pengaruh literasi yang terputus menimbulkan ketidaktahuan masyarakat Indonesia ketika terjadi gempa besar disusul gelombang tsunami. Akibatnya, dampak kerugian dan korban jiwa yang diakibatkan dari bencana tersbut begitu dasyat.
Sebenarnya, pemerintah dalam Pasal 7 UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Bancana Alam, telah bertanggung jawab menanggulangi bencana melalui beberapa langkah, diantaranya dengan pengurangan resiko bencana dengan program pembangunan, serta yang terpenting pemeliharaan arsip/dokumen otentik dan kredibel dari ancaman dan dampak bencana. Namun karena kurangnya edukasi terkait hal ini membuat masyarakat masih banyak yang belum mempunyai pengetahuan tentang kebencanaan.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyadari hal ini. Pengatahuan tentang kebencanaan dinilai harus mulai dikenalkan, bahkan sejak sejak usia dini. Seperti dalam gelaran Festival Literasi Sekolah (FLS) 2019, diadakan sebuah lokakarya sebagai upaya untuk menanamkan kesadaran pada kebencanaan. Acara yang digelar pada (27/7/2019) ini mengusung tema “Literasi Sekolah dan Pelibatan Masyarakat: Pengalaman Kemitraan, Pencegahan Bencana dan Gerakan Kolektif”.
Kegiatan ini lebih fokus kepada pentingnya literasi kebencanaan agar masyarakat memiliki kesadaran dalam menanggulangi bencana. Pegiat literasi kebencanaan Neni Muhidin, dalam kesempatan itu menjelaskan, bahwa memahami bencana sebenarnya adalah memahami risiko. Menurutnya, literasi bertujuan untuk mengajak masyarakat berpikir kritis dan memiliki spirit untuk mengetahui apa yang ada di sekitar.
“Kesadaran tentang pemahaman risiko inilah yang sangat rendah di kita. Apakah ada peristwa besar di tempat sekolah, di tempat kerja? Pertanyaan kritis inilah yang gak pernah muncul di masyarakat. Ketika ada bencana, baru mereka terheran-heran,” tutur Neni.
Neni mencontohkan, adanya bencana di Palu yang merupakan kampung halamannya. Ia mengugkapkan, pada siswa di Palu lebih hafal tentang perang Jawa, tapi tidak pernah punya pengetahuan tentang apa yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Hal ini menurut dia karena tidak adanya referensi mengenai kebencanaan.
Penanaman literasi kebencanaan juga penting dalam rangka memberikan pengetahuan mengenai jenis bencana yang berpotensi mengancam eksistensi masyarakat. Selain itu, perkiraan daerah jangkauan bencana, gejala-gejala bencana, prosedur menyelamatkan diri, serta berbagai informasi lain juga diperlukan oleh masyarkat dalam rangka mengantisipasi terjadinya bencana, serta meminimalisir kerugian dan korban jiwa.
Dalam hal ini, sosialisasi terkait penanggulangan bencana perlu digalakan terutama malalui jalur pendidikan. Sekolah dan universitas sebagai institusi pendidikan seharusnya tidak hanya melakukan transfer pengetahuan, namun harus juga memberikan kecakapan termasuk soal mitigasi bencana. Hal ini dilakukan tidak lain untuk menjaga kelangsungan hidup masyarakat Indonesia.