Penerimaan Negara 2021 Lampaui Target, Sejumlah Kebijakan 2022 Akan Picu Kenaikan Harga

MONITORDAY.COM - Kabar baik menutup akhir tahun 2021 lalu. Di bidang keuangan, target pendapatan bahkan terlampaui. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyampaikan bahwa pelaksanaan APBN 2021 mencatatkan kinerja positif dan melebihi target dalam APBN 2021. Realisasi pendapatan negara hingga 31 Desember 2021 mampu tumbuh Rp2.003,1 triliun atau 114,9 persen dari target APBN 2021 yang sebesar Rp1.743,6 triliun.
Hal ini tentu menjadi pemicu untuk menjaga stabilitas neraca keuangan negara. Awal tahun 2022 menunjukkan tantangan besar yang harus dihadapi Indonesia. Data terbaru menunjukkan bahwa India mengalami lonjakan kasus Covid-19 hingga 5 kali lipat. Kita masih ingat di pertengahan tahun lalu, Indonesia mengalami lonjakan kasus yang sangat tinggi beberapa bulan setelah lonjakan kasus di India terjadi.
“Dengan asumsi yang mengalami deviasi ini, kita lihat APBN kita realisasinya yang sangat positif. Sampai dengan 31 Desember, pendapatan negara mencapai Rp2.003,1 triliun,” ujar Menkeu dalam Konferensi Pers Realisasi APBN 2021, Senin (03/01).
Ada proses dan hasil yang cukup mengesankan selama tahun 2021. Meski kita dihadang gelombang besar lonjakan kasus penularan dan kematian akibat pandemi. Capaian tersebut tumbuh 21,6 persen lebih tinggi dibandingkan APBN tahun 2020 yang sebesar Rp1.647,8 triliun.
“Ini adalah suatu recovery dan rebound yang sangat kuat. Tahun ini masih ada pandemi yang memukul dengan Delta dan Omicron, namun kita masih bisa tumbuh di 21,6 (persen),” kata Menkeu.
Menkeu memaparkan realisasi sementara penerimaan pajak telah mencapai Rp1.277,5 triliun atau 103,9 persen dari target APBN 2021 yang sebesar Rp1.229,6 triliun. Capaian ini tumbuh 19,2 persen dari penerimaan pajak tahun 2020 lalu yang sebesar Rp1.072,1 triliun akibat terpukul pandemi Covid-19.
“Jadi (penerimaan pajak) kita Rp47,9 triliun lebih tinggi dari target APBN,” ujar Menkeu.
Sementara, penerimaan kepabeanan dan cukai mencapai Rp269 triliun atau 125,1 persen dari target yang ditetapkan dalam APBN 2021 sebesar Rp215 triliun.
“Tahun lalu, (penerimaan) bea dan cukai mencapai Rp213 triliun dan relatif stabil, tapi tetap sedikit kontraktif, terutama untuk bea masuk dan keluarnya. Jadi kalau sekarang tumbuh 26,3 persen, itu adalah suatu recovery yang luar biasa,” kata Menkeu.
Di sisi lain, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) telah mencapai Rp452 triliun atau 151,6 persen dari target APBN 2021 sebesar Rp298,2 triliun. Realisasi ini tumbuh 31,5 persen dibandingkan tahun 2020 yang sebesar Rp343,8 triliun.
“Jadi ini recoverynya sudah jauh melebihi kontraksi tahun lalu. Jangan lupa tahun ini kita masih ada Covid dan capaian ini juga lebih tinggi dari tahun 2019 pre-Covid level,” ujar Menkeu.
Kinerja APBN 2021 yang semakin baik menjadi sinyal positif berlanjutnya pemulihan ekonomi yang semakin kuat di tahun 2022. APBN akan terus melanjutkan perannya untuk melindungi keselamatan masyarakat sekaligus sebagai motor pengungkit pemulihan ekonomi.
Di sisi lain perlu diingat dan dicermati bahwa sejumlah kebijakan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akan memicu kenaikan harga barang dan jasa pada 2022. Hal ini dikhawatirkan bisa menahan pemulihan ekonomi karena mengganggu daya beli masyarakat. Kenaikan harga akan sangat memberatkan masyarakat yang belum pulih dari tekanan ekonomi. Pengangguran masih membayang, banyak usaha juga belum bergerak lagi.
"Kebijakan terkait administered price akan dilakukan hati-hati. Karena tujuan kita pemulihan ekonomi, yakni konsumsi, ekspor impor dan lain-lain. Sementara situasi covid tidak pasti," ungkapnya dalam konferensi pers APBN Kita, Senin (3/1/2022)
Sejumlah kebijakan yang mendorong kenaikan pendapatan negara telah diluncurkan adalah kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) dengan rata-rata 12%. Meski diberlakukan per 1 Januari 2022 akan tetapi perusahaan rokok belum ada yang berani melakukan penyesuaian.
Yang paling mendapat sorotan adalah kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dimana 1 April 2022 akan naik menjadi 11%. Pengaruh kebijakan ini sangat besar karena berlaku di hampir semua jenis barang, kecuali sembako, jasa pendidikan, kesehatan dan beberapa kelompok yang sangat dibutuhkan masyarakat umum. Setiap kebijakan mengandung konsekuensi. Tinggal Pemerintah yang harus jeli melihat untung ruginya bagi perekonomian nasional.