Momen Pertemuan Jokowi dan Prabowo, DEEP : Jangan Diartikan Kelompok Kekuasaan Tak Boleh Bertemu Oposisi
Momen Pertemuan Jokowi dan Prabowo (13/7) banyak yang berspekulasi bahwa pertemuan tersebut merupakan sebuah upaya untuk menjadikan politik akomodatif dalam sebuah gerbong kekuasaan.

MONITORDAY.COM – Momen Pertemuan Jokowi dan Prabowo (13/7) banyak yang berspekulasi bahwa pertemuan tersebut merupakan sebuah upaya untuk menjadikan politik akomodatif dalam sebuah gerbong kekuasaan.
Pengamat Politik, Yusfitriadi berpendapat tidak seperti itu. Menurutnya, sudah banyak teori-teori yang mengatakan, demokrasi akan sehat karena adanya oposisi. Namun, bukan juga harus diartikan kelompok kekuasaan tidak boleh bertemu dengan kelompok oposisi.
“Justru ketika kekuatan oposisi yang konstruktif dan progresif akan menjadi pengawal bangsa ini ketika berbagai masalah diselesaikan dalam satu meja tidak bermain diudara melalui opini-opini yang tidak sehat dan tidak produktif,” kata Yusfitriadi saat dihubungi Monitorday.com, Selasa (16/7).
Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) itu berharap, kedepannya pertemuan-pertemuan antara kelompok oposisi dan kelompok kekuasaan bisa lebih intensif dilakukan.
Dengan begitu, lanjut Yusfitriadi, yang menjadi pemikiran-pemmikiran kelompok oposisi akan langsung bisa diserap oleh kelompok kekuasaan, begitupun gagasan-gagasan kelompok kekuasaan akan langsung bisa terkonfirmasi oleh kelompok oposisi.
Yusfitiriadi juga menilai, Jokowi dan Prabowo memahami betul bagaimama memaknai demokrasi yang kuat dan sehat untuk kemajuan bangsa.
“Sehingga Jokowi berkali-kali mengungkapkan harus adanya kelompok oposisi dalam sebuah negara demokrasi,” ujarnya.
“Begitupun prabowo sering sekali menyatakan sikapnya untuk terus memberikan kontribusi terhadap bangsa dan negara walaupun tidak melalui kekuasaan,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Yusfitriadi mengatakan, sekarang masalahnya bukan pada 2 tokoh tersebut, namun kondisi yang belum move on pada tataran masyarakat, apapun motif dan orientasinya.
“Entah motifnya memang belum memahami dialektika demokrasi yang seutuhnya, apa memang benar-benar psikologisnya bermasalah sehingga tidak bisa menerima kekalahan dalam sebuah kontestasi,” tuturnya.
“Atau memang sengaja berbagai narasi yang berorientasi tehadap perpecahan bangsa terus diopinikan dengan maksud mengganggu dan merongrong rakyat dan bangsa yang sudah akan kembali normal,” tutupnya.