Maknai 76 Tahun Indonesia Merdeka, Dr. Badawi: Akademisi Harus Jujur, Ikhlas dan Berkapasitas 

Maknai 76 Tahun Indonesia Merdeka, Dr. Badawi: Akademisi Harus Jujur, Ikhlas dan Berkapasitas 
Akademisi Universitas Muhammadiyah Cirebon (UMC) Dr. Badawi, SE, MM (Foto: Dede Kris/MMG)

MONITORDAY.COM - Akademisi Universitas Muhammadiyah Cirebon (UMC) Dr. Badawi, SE, MM menilai usia kemerdekaan Indonesia yang memasuki 76 tahun ini, tentunya memiliki dinamika dan histori panjang yang sejatinya menjadi perhatian bagi kalangan akademisi di Perguruan Tinggi.

Menurut Badawi, para founding fathers kala itu mencurahkan seluruh energinya untuk memerdekakan negeri ini, agar kelak generasi penerus dapat mengisi dengan ragam prestasi dan karya.

" Ada makna tersirat dari curahan energi para pejuang yang sudah mempertaruhkan nyawa mereka untuk negeri ini. Apa itu, semangat kejujuran, keikhlasan, punya integritas, tidak menjadi penghianat apalagi ikut memanfaatkan untuk kepentingan kelompok dan pribadi, " terang Badawi yang juga Wakil Rektor II UMC kepada monitorday.com, Rabu (4/8/2021).

Merdeka dan Perilaku Jujur 

Indonesia memang telah merdeka. Penjajah sudah angkat kaki dari bumi pertiwi berkat jasa dan keberanian para pahlawan.  Sayang sekali, kemerdekaan di negara ini masih diwarnai kecurangan dan ketidakjujuran. 

Dalam bidang apa pun, masih banyak praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Entah itu di bidang politik, ekonomi, olahraga, kesehatan, dan pendidikan.

Kemerdekaan itu jujur. Tidak curang, menghargai usaha sendiri dan usaha orang lain. Merdeka itu mengakui usaha diri sendiri dan orang lain. Sudah sepantasnya untuk menghentikan praktik-praktik kecurangan baik dalam negara juga di kampus itu sendiri.

Merdeka dan Perilaku Ikhlas

Selanjutnya, kemerdekaan yang dinikmati saat ini tidak lepas dari keikhlasan para pejuang yang tidak kalkulatif dalam perjuangannya. Para pejuang hingga warga awam pun sadar bahwa kata Ikhlas itu  mudah diucapkan, tetapi sulit dilaksanakan. Karena itu, perlu belajar dan membiasakan diri menjadi mukhlis (orang yang ikhlas).  

Lantas apa makna keikhlasan di bulan merdeka yang bersamaan dengan belum meredanya pandemi ini? 

Sebagai seorang akademisi, sudah sepatutnya  menjadikan sifat Ikhlas  merupakan “benteng pertahanan” mental spiritual Mukmin dari kebinasaan atau kesia-siaan dalam menjalani kehidupan. Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah berujar, “Amal tanpa keikhlasan seperti musafir yang mengisi kantong dengan kerikil pasir. Memberatkannya tetapi tidak bermanfaat.” 

Pandemi yang sudah berlangsung satu tahun lebih membuat kondisi ekonomi tidak sehat. Dalam kondisi seperti ini, kehadiran akademisi harus mampu memberikan kontribusi, sekiranya tidak sanggup dengan materi, minimal dengan himbauan yang positif sehingga mampu membawa atmosfir yang baik. 

Segala bantuan yang diberikan harus dilandasi dengan keikhlasan, Ikhlas merupakan perbuatan yang sangat sulit.  Terkadang manusia berbicara menggunakan lisan berkata ikhlas namun di dalam hati berbeda. Ikhlas dapat memurnikan ibadah seseorang kepada Allah SWT, sehingga tidak mengharapkan imbalan apapun selain ridho dari Allah SWT.

" Seorang dosen ketika diberikan amanah mendidik, maka jalanilah dengan ikhlas. Junjung tinggi marwah nilai seorang akademisi yang siap mengejawantahkan Tri Dharma Perguruan Tinggi," ungkap Badawi.

Seorang akademisi juga harus profesional. Hal itu terlihat dari sikap komitmennya terhadap pekerjaan dan institusi pendidikan tempat dia bekerja, yang ditandai dengan tiga indikator besar, yakni sangat mempercayai institusinya, sangat ingin memajukan institusi pendidikan tempat dia bekerja, dan dia akan sangat berkeinginan untuk terus mendedikasikan keahliannya di institusi tempat di bekerja. 

Ketiga indikator ini seyogyanya menguatkan semangat ikhlas untuk beredikasi dan mampu bekerjasama untuk kemajuan Institusi. Bukan berkolaborasi untuk memanfaatkan peluang tertentu, apalagi mengatasnamakan Perguruan Tinggi untuk mencari sisi keuntungan pribadi.

Merdeka dan Berkapasitas

Belum lama ini, Pemerintah membentuk Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Ristek dan Dikti) yang juga tidak lepas dari kemerdekaan itu sendiri. 

Namun yang menjadi pertanyaan? bagaimana  kemampuan perguruan tinggi (PT) dapat memacu kapasitas akademisi (dosen atau mahasiswa) agar riset tidak hanya menjadi gagah-gagahan.

Artinya, menjadi Dosen ini tidak mudah, banyak kewajiban yang harus dilakukan yaitu Tri Dharma Perguruan Tinggi. Dosen yang jujur dan ikhlas saja tidak cukup, butuh kapasitas karena didalamnya ada integritas. 

Yang perlu ditampilkan dosen itu karya, baik dalam pengajaran, penelitian dan program pengabdian. Kompetensi  tenaga  pendidik,  khususnya  dosen,  meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional.

Kompetensi dosen menentukan kualitas pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi sebagaimana yang  ditunjukkan  dalam  kegiatan  profesional  dosen.  

Untuk  menjamin pelaksanaan tugas dosen berjalan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam peraturan perundang‐undangan maka perlu dievaluasi setiap periode waktu yang ditentukan.

Sebagai penutup, Badawi mengajak kepada akademisi di seluruh penjuru nusantara agar memaknai profesinya dalam konteks 76 tahun negeri ini merdeka, dengan sungguh-sungguh mengimplementasi semangat Tri Dharma Perguruan Tinggi.