Legenda Penjaga Adat : Fakta Suku Kajang dan Baduy

Legenda Penjaga Adat : Fakta Suku Kajang dan Baduy
ilustrasi suku Baduy/ wikipedia

MONITORDAY.COM - Di Sulawesi Selatan ada suku Kajang, di Banten ada suku Baduy. Keduanya kokoh memegang adat dan cenderung menolak segala modernisasi dan perubahan yang mengiringinya. Mereka menjaga adat dan alam lingkungannya dengan teguh. Wilayah tempat tinggal suku Kajang dikenal sebagai Tana Toa, sementara orang Baduy menyebut wilayah mereka sebagai Kabuyutan. Keduanya memiliki makna yang hampir mirip yakni wilayah leluhur atau nenek moyang. 

Ada sejumlah fakta di antara berbagai fakta lainnya tentang Suku Kajang dan Baduy. Paparan berikut ini membantu kita memahami sejumlah perbedaan dan kemiripan diantara keduanya. 

#1. Penjaga Adat. Tradisi yang kuat terpancang erat di suatu kawasan yang hingga kini menjadi salah satu benteng budaya di Sulawesi Selatan. Kelompok masyarakat itu sering dikenali sebagai suku Kajang. Mereka bermukim di Desa Tana Toa, Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan. Secara geografis, daerah tersebut merupakan daerah perbukitan yang bergelombang. 

Di kawasan Kajang dikenal dengan hukum adatnya yang sangat kental dan masih berlaku hingga sekarang. Mereka menjauhkan diri dari segala sesuatu yang berhubungan dengan hal-hal modernisasi, kegiatan ekonomi dan pemerintahan Kabupaten Bulukumba. 

Sementara masyarakat Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti aturan negara Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat. 

Inilah uniknya. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi benturan. Secara nasional, penduduk Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu "Pu'un".

#2. Warna Pakaian. Hitam merupakan sebuah warna adat yang kental akan kesakralan dan bila kita memasuki kawasan ammatoa pakaian kita harus berwarna hitam. Warna hitam mempunyai makna bagi Masyarakat Ammatoa sebagai bentuk persamaan dalam segala hal, termasuk kesamaan dalam kesederhanaan. tidak ada warna hitam yang lebih baik antara yang satu dengan yang lainnya. Semua hitam adalah sama.

Warna hitam menunjukkan kekuatan, kesamaan derajat bagi setiap orang di depan sang pencipta. Kesamaan dalam bentuk wujud lahir, menyikapi keadaan lingkungan, utamanya kelestarian hutan yang harus dijaga keasliannya sebagai sumber kehidupan.

Sementara ciri khas Orang Kanekes Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua (warna tarum) serta memakai ikat kepala putih. Mereka dilarang secara adat untuk bertemu dengan orang asing.

#3. Kepercayaan. Sebagian besar Suku Kajang memeluk agama Islam. Meskipun demikian, mereka juga mempraktikkan sebuah kepercayaan adat yang disebut dengan Patuntung. Patuntung diartikan sebagai mencari sumber kebenaran. Hal itu menyiratkan bahwa apabila manusia ingin mendapatkan sumber kebenaran, maka mereka harus menyandarkan diri pada tiga pilar, yaitu Tuhan, tanah, dan nenek moyang. Keyakinan kepada Tuhan adalah kepercayaan yang paling mendasar dalam kepercayaan patuntung. Suku Kajang percaya bahwa Tuhan adalah pencipta dari segala sesuatu.

Tuhan atau yang disebut sebagai Turie’ A’ra’na menurunkan perintah atau wahyunya kepada Suku Kajang melalui manusia Kajang pertama yang disebut Ammatoa. Wahyu tersebut dalam kepercayaan mereka disebut dengan pasang. Pasang yang hendak disampaikan bukanlah sembarangan. Pasang tersebut berisi panduan hidup Suku Kajang dalam segala aspek dan lika-liku kehidupan. Nenek moyang mereka menurunkan pasang itu secara lisan dari generasi ke generasi.

Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai ajaran Sunda Wiwitan, ajaran leluhur turun temurun yang berakar pada penghormatan kepada karuhun atau arwah leluhur dan pemujaan kepada roh kekuatan alam (animisme). Meskipun sebagian besar aspek ajaran ini adalah asli tradisi turun-temurun, pada perkembangan selanjutnya ajaran leluhur ini juga sedikit dipengaruhi oleh beberapa aspek ajaran Hindu, Buddha, dan di kemudian dari ajaran Islam.


#4. Kelompok masyarakat adat Luar dan Dalam. Kajang di bagi dua secara geografis, yaitu Kajang dalam (mereka disebut tau kajang) dan Kajang luar (orang-orang yang berdiam di sekitar suku Kajang yang relatif modern, mereka disebut tau lembang).

Daerah kajang luar adalah daerah yang sudah bisa menerima peradaban teknologi seperti listrik, berbeda halnya dengan kajang dalam yang tidak dapat menerima peradaban, itulah sebabnya di daerah kajang dalam tidak ada listrik bukan hanya itu apabila kita ingin masuk ke daerah kawasan Ammatoa (Kajang dalam) yang tidak diperbolehkan memakai sandal hal ini dikarenakan oleh sandal yang dibuat dari teknologi modern.

Bukan hanya itu bentuk rumah kajang dalam dan Kajang luar sangat berbeda. Di Kajang luar dapur dan tempat buang airnya terletak di bagian belakang rumah sama halnya dengan rumah-rumah pada umumnya, tidak seperti dengan kajang dalam (kawasan Ammatoa) yang menempatkan dapur dan tempat buang airnya didepan.

Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka.  Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Kanekes Dalam (Baduy Dalam), yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Ciri khas Orang Kanekes Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua (warna tarum) serta memakai ikat kepala putih. Mereka dilarang secara adat untuk bertemu dengan orang asing.

Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes, mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.