Ladies! Jangan Pernah Coba Kenakan Rok Mini di Negara Ini

Ladies! Jangan Pernah Coba Kenakan Rok Mini di Negara Ini
Wanita Uganda tetap langgar aturan rok mini (Foto: Istimewa)

MONITORDAY.COM - Kaum wanita di Uganda, Afrika, sempat berhati-hati dalam mengenakan busana. Maklum, kenakan rok mini bakal terkena hukuman dari otoritas setempat.

Pemerintah Uganda telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Anti-Pornografi yang melarang pemakaian rok mini. Undang-Undang Kontroversial tersebut juga melarang materi apa pun yang bermuatan seksual, termasuk dalam tayangan videoklip musik.

Namun, Mahkamah Konstitusi (MK) Uganda telah membatalkan undang-undang anti- pornografi kontroversial yang telah disahkan pada 2014 silam. 

Dalam aturan itu memuat ketentuan larangan mengenakan rok mini di depan umum. Keputusan MK Uganda itu dipuji oleh para pegiat hak-hak perempuan.

Putusan tersebut mengatakan bahwa undang-undang "undang-undang anti-rok mini", tidak konsisten atau bertentangan dengan konstitusi Uganda.

"Bagian dari Undang-Undang Anti-Pornografi dengan ini dinyatakan batal demi hukum," kata Hakim Frederick Egonda-Ntende dalam putusan hari Senin, yang juga menjatuhkan wewenang komite sembilan anggota yang bertugas menegakkan hukum seperti dikutip dari
France24, Selasa (17/8/2021).

Undang-undang tersebut mengkriminalisasi setiap aktivitas yang dianggap pornografi, mulai dari mengenakan rok pendek hingga menulis lagu yang bersifat cabul, serta menyebabkan meningkatnya pelecehan publik terhadap perempuan yang mengenakan pakaian yang dianggap terlalu terbuka.

Pada tahun 2014, bintang pop Uganda Jemimah Kansiime ditangkap karena tampil dalam video musik yang menunjukkan dia mengenakan pakaian dalamnya. Saat ini dia disidang, dia menghadapi hukuman hingga 10 tahun penjara, meskipun masa depan kasus ini tidak jelas karena putusan baru tersebut.

Aktivis hak-hak perempuan menyambut baik putusan tersebut, yang diikuti protes jalanan oleh para pegiat yang menyerukan agar undang-undang tersebut dibatalkan.

"Ini adalah perjuangan yang pahit dan kami bersyukur (bahwa) mereka yang percaya pada hak-hak perempuan telah muncul sebagai pemenang," kata Lillian Drabo, salah satu dari sembilan pemohon yang menentang undang-undang tersebut, kepada AFP.

Para pembuat petisi mengatakan undang-undang tersebut mendorong pelecehan dan perlakuan buruk terhadap perempuan di depan umum dan menolak mereka mengontrol tubuh mereka serta akses ke ruang publik.