Kursi Panas CAWAPRES: Siapa yang Layak?
Dalam konteks dialektika, pancasila harus dipahami sebagai sintesis antara dua kutub ekstrem ideologi, yaitu negara sekular dan teokratik.

MONITORDAY.COM - Menjelang tahun politik 2019, perbincangan soal calon presiden tampaknya tak semenarik membincang calon wakil presiden. Banyak yang berpandangan bahwa calon presiden paling juga akan berkisar antara Jokowi dan Prabowo.
Soal calon alternatif yang mencoba digagas oleh beberapa elit partai juga belum berani dan tegas menyebut figur. Karenanya, tak terlalu menarik membincang calon presiden.
Hal ini dikatakan Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UMJ Ma'mun Murod Al-Barbasy.
"Justru yang menarik membincang calon wakil presiden. Sebab calon presiden yang terpilih pada Pilpres 2019 akan sangat potensial dan berpeluang besar untuk menjadi presiden untuk lima tahun berikutnya," katanya kepada wartawan, Jumat (16/03).
Ma'mun lebih lanjut menghendaki agar sedianya Cawapres adalah orang yang paham akan Islam sekaligus Pancasila. Dengan kata lain, orang yang berani mengatakan saya Muslim tapi saya juga Pancasilais.
Ia berpendapat, orang yang tak paham Islam dan Pancasila tidak boleh dibiarkan menjadi Cawapres. Sebab kalau cawapres sebatas Muslim, tapi tidak paham Pancasila atau bahkan anti-Pancasila, bagi Ma'mun akan sangat berbahaya.
Dalam konteks dialektika, lanjut Ma'mun menjelaskan, pancasila harus dipahami sebagai sintesis antara dua kutub ekstrem ideologi, yaitu negara sekular dan teokratik. Pancasila itu "ideologi tengahan".
Negara Pancasila adalah penegasan dari sebuah negara yang bukan negara agama tapi juga bukan negara sekular, tapi negara yang menganggap agama penting. Letak penting agama jelas secara tegas terdapat pada Sila Pertama Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa, Pembukaan UUD Tahun 1945, dan Pasal 29.
Negara Pancasila itu bukan negara agama tapi negara agamis. Orang yang suka teriak-teriak mengaku paling Pancasila tapi pola pikirnya justru sekular atau skripturalis, sebenarnya cermin dia tak paham Pancasila.
"Nah, orang seperti ini tak boleh dan tak layak diusung menjadi Cawapres, baik untuk mendampingi Jokowi dan kemungkinan juga mendampingi Prabowo," jelas Ma'mun.
Ketika didesak soal nama yang layak mendampingi Jokowi maupun Prabowo, Ma'mun kemudian menyebut beberapa nama dari kategori partai maupun non partai.
Dari non partai, Ma'mun menyebut nama Din Syamsudin dan Moh Mahfud MD. Sedangkan dari partai, ia menyebut dua nama, yakni Ketua Umum Partai PKB, Muhaimin Iskandar, dan Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan.
Keempat nama tersebut dipilih bukan tanpa alasan. Selain memenuhi kriteria sosok yang paham Islam dan Pancasila, juga memiliki pengalaman yang memadai.
"Kalau calon ini berasal dari non partai, maka nama Din Syamsuddin dan Moh Mahfud MD, layak diperhitungkan dan dipertimbangkan," aku Ma'mun.
Menurutnya, pengalaman dan aktivitas Din Syamsudin dalam masalah-masalah kenegaraan dan sosial kemasyarakatan sudah tak diragukan lagi. Pergaulannya juga sangat luas dan bisa diterima beragam kalangan.
Selain itu, Moh Mahfud juga pantas dan layak. Mahmud MD cukup berintegritas juga bisa diterima beragam kalangan. Berpengalaman juga terlibat dalam pemerintahan, baik sebagai anggota DPR maupun menteri.
Sementara itu, tokoh partai yang bisa dipertimbangkan untuk mendampingi Jokowi maupun Prabowo adalah Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar.
Menurutnya, selain cukup punya pengalaman di pemerintahan, juga pengalaman sebagai aktivis akan banyak membantu dalam menjalin relasi dengan banyak kalangan.
Nama selanjutnya dari tokoh partai yang layak diperhitungkan adalah Zulkifli Hasan. Ketua Umum PAN ini selain pernah menjadi menteri juga sekarang menjabat sebagai Ketua MPR. Juga dikenal santun dan supel dan bisa diterima banyak kalangan.
"Keempat nama ini saya kira sangat memenuhi kriteria sebagai orang yang paham Islam dan juga Pancasila," tegas Ma'mun yang juga Aktivis Muda Muhammadiyah.
[Mrf]