Kisah Ronggeng Hingga Purel. Pilihan atau Nasib?

MONITORDAY.COM - Karya sastra tak jarang berangkat dari kritik sosial. Juga sejarah yang kelam sebagai latar belakangnya. Novel Ronggeng Dukuh Paruk yang kelak difilmkan dengan judul Sang Penari menggambarkan situasi tersebut. Sang novelis adalah Ahmad Tohari, sastrawan kondang dengan kemampuan menulis yang mengagumkan.
Setting utama kisah ini adalah rakyat miskin di sebuah desa di Banyumas. Kemiskinan kultural yang konon diyakini menjadi takdir Dukuh Paruk. Mereka hanya akan menikmati kesenangan bila ada salah seorang perempuan muda di antara mereka yang mendapat wangsit dari sesepuh kampung itu.
Di balik kisah itu ada jejak budaya masyarakat Jawa dengan segenap nuansanya. Termasuk sisi gelapnya. Mistis dan penuh dengan misteri. Menjadi bahan cerita yang tak lekang oleh waktu. Pengaruh kolonial tentu ada. Di bawah pengaruh penjajah, judi makin menjadi, arak semakin marak. Tentu saja ada bisnis yang menyerempet soal pemuasan birahi lelaki dalam dunia malam.
Meski keadaan berubah, ada persoalan yang sama kita hadapi hari ini. Menjelang Ramadan biasanya marak isu penutupan tempat hiburan malam. Sementara para pekerjanya amat bergantung dari bisnis itu.
Dunia malam ada sejak dulu. Tak lekang oleh waktu. Dan kini semakin mendapat tempat, pasarnya semakin luas. Ragam dan jenisnya pun semakin banyak. Di balik itu semua tak terhitung jumlahnya para perempuan yang mengalami nasib buruk bahkan diperdagangkan. Kita menyebutnya human trafficking.
Orang dulu joget bersama lengger. Atau menari ditemani alunan suara ronggeng. Sambil menenggak ciu atau minuman beralkohol. Di puncak pengaruh alkohol para lelaki termasuk penabuh gamelan berteriak ‘hose’. Masa berganti, kini dunia malam diwarnai musik koplo dan sejenisnya. Tak perlu ronggeng dan pemain musik, cukup efisien dengan piranti karaoke. Kini purel, LC, atau pemandu lagu yang menemani pencari senang yang berdalih melepas penat.
Intinya ada sejumlah perempuan yang berprofesi sebagai penghibur. Menemani tamu bernyanyi, menari, dan menghabiskan waktu untuk melepas jemu. Tak hanya topi yang miring, demikian pula dengan persepsi sebagian masyarakat pada profesi mereka.
Mungkin para purel, ronggeng, dan sejenisnya dalam dunia modern masih akan tetap ada. Selama itu pula para lelaki masih akan menyisihkan dana kenakalan untuk mereka habiskan demi kesenangan duniawi.