Ketua Komisi III LSF Paparkan Urgensi Literasi Tontonan di Era Media Baru

MONITORDAY.COM - Literasi tontonan di era media baru sangatlah penting. Betapa tidak, perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat, berpengaruh besar terhadap peredaran dan pertunjukan film, dimana film saat ini tidak hanya disaksikan melalui layar bioskop dan televisi, namun dapat diakses melalui internet, platform digital dan media sosial.
Sehingga akses masyarakat terhadap film semakin mudah, tidak lagi dibatasi oleh tempat dan waktu. Sehingga masyarakat memiliki potensi mengakses konten perfilman yang tidak sesuai dengan klasifikasi usianya.
Film tentu akan memberikan dampak negatif, bila ditonton tidak sesuai dengan klasifikasi usia, karena film yang diperuntukan bagi orang dewasa tidak akan cocok bila tonton oleh anak-anak.
"Tayangan yang mengandung pornografi, kekerasan, perjudian, pelecehan, perendahan terhadap harkat dan martabat serta penodaan terhadap agama dan kemanusiaan, tentu akan memberikan dampak buruk bila tidak ada proses penyenyoran," kata Ketua Komisi III LSF RI, Naswardi di Diskusi Kopi Pahit MMG bersama Lembaga Sensor Film (LSF) RI dengan tajuk "Literasi Tontonan di Era Media Baru” Jum'at (24/12/2021).
Turut berpartisipasi sebagai Narasumber diantaranya: Muchlas Rowi (Founder Monday Media Group) Faldo Maldini (Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara RI bidang Komunikasi dan Media), Rachel Eleeza Coloay (Putri Persahabatan 2020) dan Nuning Rodiyah (Komisioner KPI RI).
Selanjutnya, kata Naswardi, LSF telah menyensor kisaran 39.000 judul film. Sinema tersebut baik untuk tayangan di bioskop, sinetron atau FTV yang disiarkan di televisi hingga impor di sepanjang 2021 ini.
Dari jumlah itu, yang dominan adalah materi iklan untuk televisi.
Tren baru penyensoran adalah tayangan untuk jaringan informatika seperti Disney, Netflix, Maxstream dan lainnya atau 599 judul. Untuk tayangan streaming itu ada muatan iklan 1,5 persen.
Selama pandemi, sensor untuk film layar lebar, berkurang. Biasanya, rata-rata per tahun sekitar 400 judul namun turun menjadi 196 film yang sebagian besar untuk model pertunjukan baru seperti drive in theater.
Untuk format film Palwa (DVD) sekitar 328 judul, sedangkan film untuk festival yang telah disensor sebanyak 150 judul. LSF tetap dengan parameter untuk menyatakan film tak lulus sensor. Antara lain karena mengandung kekerasan, harkat dan martabat, penodaan atau penistaan agama, pelanggaran hukum, serta apakah mengandung sensitivitas di masyarakat. Termasuk target usia. Untuk film impor, penyensoran pun dilakukan kepada teks terjemahannya.
Kemudian ada fungsi interaksi film literasi tontonan yang disebut dengan budaya sensor mandiri. Sederhananya, LSF terus membangun kesadaran masyarakat sebagai penonton di usia 17 tahun dan ada 21 tahun. Ini yang perlu didorong agar klasifikasi usia ini dipatuhi secara sadar.
Dia pun menyuarakan adanya gerakan literasi tontonan melalui budaya sensor Mandiri. Dari momen inilah, LSF menyusun grand design penyusunan blueprint yang dikanl dengan catur aksi budaya sensor Mandiri. Melalui upaya ini, ada langkah konkrit yang merupakan bagian dari proses pencanangan menjadi gerakan nasional sensor mandiri, diantaranya sebagai berikut:
Pertama, masifikasi kampanye budaya sensor Mandiri baik melalui konten-konten literasi yang diproduksi baik melalui Diskusi atau woprkshop lainnya.
Kemudian yang kedua, penanaman nilai-nilai di unit pemerintah paling rendah, seperti pemerintahan desa sehingga namanya menjadi Desa sensor Mandiri.
Yang ketiga, LSF melakukan riset sebagai bagian dari basis program dan kebijakan untuk melaksanakan survei nasional budaya sensor Mandiri tentang indeks kesadaran masyarakat dalam sensor Mandiri.
Keempat, LSF melakukan akselerasi kerjasama dengan berbagai pemangku kepentingan terkait, LSF juga telah membangun kerjasama dengan 34 perguruan tinggi negeri dan swasta seluruh Indonesia yang kemudian diturunkan menjadi aksi bersama.
Dosen FEB Uhamka ini juga memastikanLSF menyadari secara penuh, bahwa upaya untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif film tidak hanya cukup dengan kebijakan Surat Tanda Lulus Sensor.
Masyarakat dan publik perlu mendapatkan pendidikan dan pengetahuan terhadap film, melalui penguatan fungsi literasi, sehingga masyarakat memiliki kepedulian dan kesadaran untuk menonton film sesuai dengan klasifikasi usia dan peruntukkannya.
Untuk menguatkan fungsi literasi masyarakat dalam aspek Perfilman, maka Lembaga Sensor Film pada tahun 2021 mencanangkan Gerakan Nasional Budaya Sensor Mandiri yakni Gerakan literasi perfilman, memilah dan memilih tontonan sesuai dengan klasifikasi usia. Salah satu bentuk kampanye dan sosialisasi program ini adalah bekerjasama dengan media, baik cetak, elektronik maupun online.