Kemenangan Biden-Harris Dan Politik Luar Negeri AS, Ini Kata Pengamat

Perbedaan Electoral College bagi Biden dan Trump juga berdampak  pada peta politik luar negeri Amerika Serikat.

Kemenangan Biden-Harris Dan Politik Luar Negeri AS, Ini Kata Pengamat
Pengamat Hubungan Internasional Binus University, Prof. Dr. Tirta Nugraha Mursitama, PhD (dok : monitorday.com)

MONITORDAY.COM - Kemenangan Joe Biden dan Kamala Harris (Biden-Harris) memantik perhatian global. Biden yang merupakan politisi kawakan Amerika Serikat dan lebih dekat dengan berbagai kalangan, baik di luar juga dalam negeri menambah catatan penting dalam sejarah politik AS. 

Lantas Harris, sebagai perempuan Asia-African pertama yang menjadi Wakil Presiden terpilih, memberikan sumbangsih pada Electoral College yang lebih unggul daripada Trump.

Tentu saja, lompatan Biden-Harris berdampak  pada peta politik luar negeri Amerika Serikat.

"Popular Vote: Biden: 78.065.436 (50.8%) vs Trump: 72.715.148 (47.4%) ," kata Pengamat Hubungan Internasional, Tirta Nugraha Mursitama dalam webinar bertajuk Pilpres AS, Pengaruhnya Terhadap Dunia Islam dan Indonesia yang diselenggarakan oleh Hasyim Muzadi Institute, Sabtu (14/11/2020). 

Meski AS sebagai kampiun demokrasi, kemenangan Biden-Harris tidak lepas dari berbagai anomali yang yang mewarnai perpolitikan di negara adidaya tersebut.

Secara domestik, pilpres AS dihadapkan dengan tuduhan fraud, pencurian suara, penggelapan suara versus sistem pemilihan yang transparan dan terbaik. 

Hoaks yang berseliweren pun tak luput dari proses pemilihan orang no 1 di negeri paman sam. 

Di lain hal, adanya benturan aturan, norma dan tradisi berhadapan dengan kepentingan sempit pribadi atau golongan yang menambah riak-riak demokrasi.

Tak bisa dipungkiri, masifnya dukungan terhadap Biden-Harris membuat Donald Trump melontarkan ragam tuduhan hingga menunda pengakuan kekalahannya. Hal ini tentu mengganggu transisi pemerintahan dan berikan effect yang tidak baik bagi keberlangsungan demokrasi.

Tirta juga menyoroti partai pengusung kedua kandidat yang berbeda haluan, dimana Partai Demokrat yang liberal, berhaluan left-wing; lebih menekankan pada peran pemerintah yang melindungi masyarakat serta menjunjung tinggi tanggung jawab sosial.

Begitupun dengan kebijakan luar negeri, Partai Demokrat yang menggunakan pendekatan lebih multilateralis; mengedepankan dialog; memiliki kesamaan di beberapa isu seperti pengakuan terhadap kedua negara, yakni Israel dan Palestina.

Sementara Partai Republik yang konservatif; berIdeologi right-wing;lebih menekankan pada peran individu. Namun memiliki kebijakan luar negeri yang  lebih unilateralis; tidak sungkan mengenakan sanksi yang keras bahkan lebih berpihak ke Israel. 

Rasanya sulit diterima, Partai Republik di satu sisi mengakui dua negara yakni Palestina dan Israel, namun disisi lain lebih berpihak pada Israel. Tidak mengedepankan dialog,  lebih terasa memukul daripada merangkul. 

Trump kala itu, dengan pongahnya memindahkan kedutaan AS dari Tel-Aviv ke Jerussalem, kota suci bagi Islam, Kristen dan Yahudi. Padahal dalam kesepakatan PBB, Israel telah dilarang keras menjadikan kota suci sebagai ibukotanya, namun lagi-lagi Trump tidak menggubrisnya dan lebih memilih mengikuti kemauan Pemerintah Israel.

Dampak Internasional

Pengaruh kemenangan Biden-Haris pun berdampak pada kepentingan global, sehingga pengaktifan kembali mitra tradisional (Australia, Asia dan Eropa). 

Trump sebelumnya memiliki hubungan yang renggang dengan Amerika Utara, khususnya Mexico. Dengan kemenangan ini,  maka harapan baru untuk memulihkan kembali hubungan AS di kawasan Utara juga selatan Amerika, terkait isu imigran.

Sama halnya dengan Asean,  Biden akan terus menguatkan kerjasama dengan negara-negara Asia Tenggara, mengingat geo strategis Asean yang bersinggugan langsung dengan rival abadinya, China. Konteks ini, Asean diharapkan bisa memainkan isu yang lebih strategis mengingat Tingkok akhir-akhir ini banyak bersengketa dengan negara-negara Asean, khususnya wilayah laut China Selatan. 

"Klaim sepihak yang dilakukan China sangat merugikan sejumlah negara Asean. Hal ini bakal jadi pantauan AS yang juga berkepentingan di wilayah yang sama," ujar Tirta.

Dampak Terhadap Dunia Islam

Semestinya Aliansi tradisional di Timur Tengah yang tergabung dalam GCC (Bahrain, Kuwait, UEA, Saudi Arabia, Oman) bisa mengambil momentum ini, apakah mengevaluasi kebijakan mereka yang selama ini terkesan formalistik. Faktanya, tak ada langkah proresif dari kerjasama dengan negara yahudi. 

Dunia Islam tampak sudah bisa menebak jika pemerintahan di negara-negara teluk mau menjalin hubungan dengan Israel karena tekanan AS.

Sebut saja, langkah UEA dan Bahrain sebagai negara Arab ketiga dan keempat yang menjalin hubungan dengan Israel yang ditolak oleh sebagain besar penduduknya dan dunia Islam. 

Presiden Turki, Racep Tayyep Erdigan bahkan murka dengan proposal kerjasama negara-negara teluk dengan Israel yang selama ini hanya menjadi catatan kelam.

Diketahui, negara-negara yang melakukan kerjasama dengan negara Yahudi ini selama ini tidak membawa dampak manfaat. Berapa banyak perjanjian yang dibuat Israel kemudian dilanggarnya. 

Semua ini tidak terlepas dari lobby Israel terhadap AS yang menekan negara-negara Timur Tengah yang lemah jika berhadapan dengan AS. 

" Trump selama ini ditentang oleh warganya bahkan militer AS juga menginginkan agar negeri paman sam tidak selalu membeo ke Israel. Amerika yang Amerika, Israel yah Israel. Yang terjadi adalah keinginan Isreal selalu dipenuhi AS, termasuk menekan negara-negara Timur Tengah," ucap Tirta. 

Arah (Baru) Politik Luar Negeri AS

Sesuai dengan platform partai demokrat, faktor ideosinkretik Biden - Harris berdampak pada menguatnya isu-isu HAM, penghormatan terhadap minoritas, memperjuangkan keadilan dan kesetaraan.

Keinginan publik AS, kemenangan ini bisa mengembalikan ekonomi domestik dengan memperkuat aliansi ke partner tradisional dan balancing terhadap mitra-mitra strategis, salah satunya China.

Peluang Untuk Indonesia

Posisi Indonesia sangat strategis bagi kepentingan AS. Tampaknya, pergantian kepemimpinan di AS tidak mengubah kebijakannya dengan Indonesia yang selama ini dipandang memiliki nilai-nilai yang sama dengan negeri itu.

Seperti diketahui, keputusan Pemerintah Amerika Serikat untuk memperpanjang preferensi tarif Generalized System of Preferences (GSP) kepada Indonesia pada tanggal 30 Oktober 2020 lalu, membawa optimisme baru bagi peningkatan kerjasama bisnis yang lebih erat antara kedua negara.  

Tirta mengutip peryataan Duta Besar RI untuk AS, Muhammad Lutfi, bahwa perpanjangan GSP ini tidak terlepas dari hubungan bilateral yang dijalin dengan sangat baik antara Indonesia dan AS, termasuk di tingkat pemimpin kedua negara.

Fasilitas GSP sangat penting dalam membantu agar produk-produk ekspor unggulan Indonesia dapat terus kompetitif di pasar AS yang memang dikenal memiliki tingkat persaingan yang tinggi. Apalagi selama ini AS merupakan pasar ekspor non-migas terbesar kedua di dunia bagi Indonesia.