Kandidat Capres 2024 dan Keberlanjutan Program Jokowi

Kandidat Capres 2024 dan Keberlanjutan Program Jokowi
Presiden Joko Widodo/ net

MONITORDAY.COM - Bagaimana nasib program Program Strategis Nasional dan kebijakan strategis lainnya bila terjadi perubahan kepemimpinan nasional? Pertanyaan itu penting dikemukakan terkait keresahan kolektif yang terkadang melahirkan isu liar seputar masa depan demokrasi kaitannya dengan keberlanjutan pembangunan di Indonesia kala terjadi transfer kekuasaan eksekutif. 

Di satu sisi, belajar dari beberapa periode sebelumnya publik dapat menilai bahwa ganti Presiden banyak masalah yang tak kunjung beres. Banyak proyek yang mangkrak. Tentu tak hanya dalam bidang ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Aspek penegakan hukum, reformasi birokrasi, kebebasan berpendapat, dan kebudayaan juga sangat penting untuk ditata dalam kebijakan yang berkelanjutan. 

DI sisi lain, publik pun mencatat bahwa pergantian seringkali memutus mata rantai kebijakan strategis. Itu bisa berarti hilangnya dana, waktu, dan kesempatan untuk mencapai tujuan nasional. Periodisasi Presiden maksimal 2 periode alias 10 tahun. Sementara program strategis mungkin selesai dibangun dalam 25 tahun. Itu berarti sangat mungkin ada program strategis yang akan dibatalkan jika pemimpin baru memiliki visi yang berbeda dengan pendahulunya.  

Jika di masa Orba ada Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) di masa kini ada RPJMN. Keputusan Presiden juga melalui pertimbangan DPR. Artinya kebijakan strategis diputuskan secara kolektif dan tergantung pada konstelasi politik dengan segenap dinamikanya. Partai politik memegang peran penting disana.    

Pengganti Joko Widodo pasca Pilpres 2024 semestinya diwacanakan secara terbuka di ruang publik. Sebagai sarana pendidikan dan konsolidasi demokrasi. Kita memerlukan demokrasi yang  sehat dan rasional. Yang mengedepankan kepentingan bersama demi Indonesia yang semakin kuat. Untuk itu keterbukaan di ruang publik tak dapat ditawar lagi. 

Demokrasi meniscayakan pentingnya keseimbangan antara kesinambungan program dengan terobosan kebijakan seiring estafeta kepemimpinan. Setiap periode kepemimpinan memang memiliki tantangannya sendiri. Apalagi dalam lingkungan dan sistem yang mengalami perubahan sedemikian cepat. Di sisi lain

Wajar ada beda gaya antara pemimpin pengganti dengan pemimpin sebelumnya. Beberapa kebijakan juga bisa saja berubah. Calon pemimpin biasanya punya kritik dan alternatif kebijakan atas kebijakan sebelumnya. Dalam kontestasi politik, alternatif kebijakan tersebut biasanya dikemas menjadi daya jual dalam kampanye.   

Yang perlu digarisbawahi adalah pergantian kepemimpinan jangan mengabaikan kesinambungan pembangunan. Apalagi kepemimpinan nasional. Segala rencana besar melibatkan sumber daya yang sangat besar. Pertaruhannya pun besar menyangkut kepentingan bangsa. 

Diantara kebijakan Joko Widodo yang strategis dan membutuhkan kesinambungan menyangkut sisi infrastruktur, kedaulatan pangan, kemudahan investasi, reformasi birokrasi, dan efisensi BUMN. Publik dapat meminjam pisau analisis ini untuk menakar dan mengukur apa saja kebijakan tersebut dan siapa yang paling memungkinkan untuk melanjutkan dan meningkatkan pencapaiannya kelak. 

Pertama, INFRASTRUKTUR. Pencapaian Jokowi dalam pembangunan infrastruktur perlu dilanjutkan. Kebijakan strategis ini merupakan keniscayaan mengingat daya dukung investasi ini sudah sangat mendesak untuk dibangun. Indonesia akan terperosok dalam jebakan pendapatan pendapatan menengah bila pertumbuhan ekonomi tak berjalan dengan baik. 

Penganti Jokowi harus memiliki visi untuk meneruskan dan merawat infrastruktur yang telah massif dibangun. SDM handal dan manajemen pengelolaan infrastruktur sangat penting agar mampu mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi. 

Kedua, KEDAULATAN PANGAN. Kebijakan food estate perlu dilanjutkan mengingat kebutuhan pangan sangat penting dalam jangka panjang. Disanping itu untuk mengintegrasikan kebijakan terkait ketersediaan pangan Pemerintah bakal segera membentuk Badan Pangan Nasional (BPN) untuk mengintegrasikan kebijakan perberasan nasional dari hulu hingga hilir, terutama terkait dengan impor beras dan peningkatan serapan domestik. Saat ini desain BPN tengah digodok oleh Bappenas, sebagaimana instruksi Presiden Joko Widodo .

Pelanjut Jokowi harus mampu mewujudkan sistem manajemen pangan yang transformatif. Indonesia bukan lagi negara agraris namun memiliki kepentingan luas dalam penyediaan pangan. Termasuk tata niaga dan sistem rantai pasokan pangan. 

Ketiga, KEMUDAHAN INVESTASI. Omnibus Law yang tak populer menjadi jalan untuk meningkatkan daya saing Indonesia sebagai negara tujuan. Tumpah tindih yang menyebabkan ketidakpastian hukum dan menghambat investasi masih terjadi di banyak kebijakan. 

Yang belum diselesaikan adalah Omnibus Law sektor keuangan dimana undang-undang BI, OJK, LPS, asuransi, pasar modal itu harus di-review karena perkembangan financial market. Perkembangan teknologi digital yang sangat cepat juga harus diantisipasi sektor keuangan. Jika tahun ini bisa diselesaikan maka pemimpin pasca Jokowi harus mampu mendorong dan mengawal peraturan turunan dan implementasinya di lapangan. 

Keempat, REFORMASI BIROKRASI. Di masa Jokowi Reformasi birokrasi berjalan optimal. Lebih melayani. Dunia usaha dan masyarakat luas dapat mengakses layanan dengan baik dan mudah. Termasuk digitalisasi dalam pelayanan publik. Jika kemudahan dalam mengurus perizinan usaha, penghapusan pungutan liar, dan berbagai perbaikan lainnya akan membawa Indonesia menjadi lebih bersih dari korupsi dan ekonomi biaya tinggi. 

Setelah Jokowi, agenda ini masih menyisakan banyak hal yang perlu dikuatkan. Negara-negara lain termasuk anggota ASEAN pasti terus berupaya mereformasi birokrasi mereka agar lebih berdaya saing. Publik dapat menakar siapa kandidat yang paling kuat dan berani dalam menegakkan integritas dan mendongkrak kompetensi jajaran birokrasi. 

Kelima, EFISIENKAN BUMN. Agenda ini sangat berani dilakukan di era Jokowi. BUMN akan semakin kompetitif dan menjadi pemain di kelas dunia. Sebagian BUMN ditugaskan untuk mengawal sektor-sektor layanan publik. Sebagian lagi didorong untuk mendongkrak penerimaan negara. Dua hal yang sama-sama penting. 

Pasca Jokowi BUMN harus memiliki daya saing dan efisiensi yang tinggi. Sejalan dengan peran swasta non-BUMN yang harus semakin kuat dalam beradaptasi dengan tantangan dan perubahan lingkungan bisnis di era digital. Jika tidak maka entitas bisnis akan terdisrupsi, termasuk BUMN yang tak mampu berinovasi.