JK Hingga Jack Watling Ungkap Negara Besar Jadi Bubur di Afghanistan

JK Hingga Jack Watling Ungkap Negara Besar Jadi Bubur di Afghanistan
Mantan Wapres Jusuf Kalla saat berkunjung ke Afghanistan (Foto: Istimewa)

MONITORDAY.COM - Mantan Wakil Presiden (Wapres), Jusuf Kalla (JK) mengatakan jika melihat sejarah Afghanistan merupakan bangsa yang kuat dan hebat. Pasalnya tiga negara kuat di dunia pernah dikalahkan.

“Sebenarnya kalau kita lihat sejarah bangsa Afganistan itu bangsa yang kuat dan hebat. Karena tidak ada bangsa ataupun negara yang bisa melawan tiga negara besar. Dan semua dikalahkan,” ujarnya dalam diskusi publik yang bertema Masa Depan Afghanistan dan Peran Diplomasi Peran Indonesia, Sabtu (21/8/2021).

JK menyebut negara pertama yang dikalahkan Afghanistan adalah Inggris. Dimana pada awal abad 20-an Inggris mencoba menaklukkan Afghanistan.

“Tapi mereka juga akhirnya kalah dan mundur. Dan terjadilah kemerdekaan Afghanistan sejak awal abad 20 tahun 1918,” katanya.

Lalu pada tahun 1980-an, Rusia juga mencoba masuk ke Afghanistan. Namun juga mundur dan kalah dari Mujahidin.

Selanjutnya Amerika Serikat (AS) dengan alasan mencari Osama bin Laden karena dianggap dalang pengeboman World Trade Center (WTC) di New York 2001.

”Akhirnya terkalahkan. Mundur dengan teratur dari Afghanistan. Karena itu yang kita bicarakan hari ini suatu bangsa yang kuat, suatu bangsa yang mempunyai kemampuan untuk melawan negara-negara besar,” paparnya.

Royal United Services Institute

Sementara itu, Jack Watling dari Royal United Services Institute menjelaskan ada tiga faktor yang menyebabkan mengapa Taliban sulit dikalahkan pada tahun ini. Taliban yang begitu kuat bahkan membuat ibu kota Afghanistan, Kabul, jatuh hanya dalam tempo 10 hari.  Melansir BBC pada Jumat (13/8/2021), berikut adalah tiga faktor kenapa Taliban susah dikalahkan tahun ini. 

1. Kekuatan Taliban 

Pemerintah Afghanistan seharusnya, secara teori, masih berada di atas angin dengan kekuatan lebih besar yang dimilikinya. Pasukan keamanan Afghanistan berjumlah lebih dari 300.000 orang setidaknya di atas kertas. Jumlah itu termasuk angkatan darat, udara, serta kepolisian Afghanistan. 

Namun, kenyataannya negara ini selalu kepayahan dalam memenuhi target perekrutan anggota keamanan.  Tentara dan polisi Afghanistan punya riwayat buruk perihal kematian yang tinggi, desersi, serta korupsi. 

Sejumlah komandan tak bermoral meminta anggaran yang diklaim untuk pasukannya, namun sebenarnya prajurit-prajurit itu tidak pernah ada. Praktik ini disebut "tentara hantu". 

Dalam laporan terbarunya kepada Kongres AS, Inspektur Jenderal Khusus untuk Afghanistan (SIGAR) menyatakan, "Keprihatinan serius tentang efek korupsi yang merusak... dan pertanyaan keakuratan data mengenai kekuatan pasukan yang sebenarnya". 

Jack Watling tidak pernah yakin berapa banyak pasukan Angkatan Darat rezim Ghani. 

Selain itu, dia mengungkapkan, ada persoalan dengan perawatan alat pertahanan dan moral. Pasukan sering dikirim ke wilayah di mana mereka tidak memiliki hubungan suku atau keluarga. Inilah salah satu alasan mengapa beberapa orang kemungkinan begitu cepat meninggalkan posnya tanpa melakukan perlawanan. 

Lalu mengapa Taliban begitu kuat? 

Jawabannya bahkan lebih sulit diukur. Menurut Pusat Pemberantasan Terorisme AS di West Point, ada perkiraan yang memperlihatkan kekuatan inti kelompok Taliban berjumlah 60.000 orang. 

Dengan tambahan kelompok milisi dan pendukung lainnya, jumlah mereka bisa melebihi 200.000 personel. Akan tetapi, Dr Mike Martin mantan perwira tentara Inggris yang menguasai bahasa Pashto dan menelusuri sejarah konflik di Helmand dalam bukunya, An Intimate War, memperingatkan terlalu berbahaya mendefinisikan Taliban sebagai satu kelompok monolitik. 

Sebaliknya dia menerangkan, "Taliban lebih mendekati sebuah koalisi longgar dari para pemegang waralaba independen, dan kemungkinan besar bersifat sementara, berafiliasi satu sama lain." 

Dia mencatat bahwa pemerintah Afghanistan juga terbelah oleh berbagai kepentingan faksi-faksi di tingkat lokal. Sejarah perubahan di Afghanistan menggambarkan betapa keluarga, suku, bahkan pejabat pemerintah mengalihkan dukungannya, acap kali untuk memastikan kelangsungan hidup mereka sendiri. 

2. Akses ke persenjataan 

Sekali lagi, pemerintah Afghanistan sejatinya memiliki keuntungan baik dari segi pendanaan maupun persenjataan. Mereka diguyur miliaran dollar AS guna membayar gaji dan peralatan pertahanan, yang sebagian besar diberikan Amerika Serikat. 

Dalam laporan Juli 2021, SIGAR mengatakan, lebih dari 88 miliar dollar AS (Rp 1,26 kuadriliun) telah dihabiskan demi keamanan Afghanistan. Akan tetapi, data tersebut menambahkan, "Pertanyaannya, apakah uang itu dihabiskan dengan baik, yang pada akhirnya, akan dijawab oleh apa yang dihasilkan dari pertempuran di lapangan." 

Angkatan Udara Afghanistan harus membuktikan keunggulannya dalam situasi kritis di medan pertempuran. Namun, mereka harus berjuang demi mempertahankan dan mengawaki 211 pesawatnya, di mana persoalannya makin parah, karena Taliban sengaja menargetkan para pilot. 

Mereka juga tidak mampu memenuhi tuntutan dari komandan di lapangan. Oleh karena itulah, ada keterlibatan Angkatan Udara AS baru-baru ini di kota-kota seperti Lashkar Gah yang sudah dikuasai oleh Taliban. Masih belum jelas berapa lama lagi AS bersedia memberikan dukungan seperti itu. 

Taliban sering kali mengandalkan pasokan dananya dari perdagangan narkoba, tetapi mereka juga mendapat dukungan dari luar - terutama Pakistan. Tidak lama berselang Taliban menyita senjata dan peralatan dari pasukan keamanan Afghanistan - beberapa di antaranya dipasok AS - termasuk kendaraan Humvee, piranti teropong malam, senapan mesin, mortir dan peralatan artileri. 

Afghanistan dibanjiri pasokan senjata setelah invasi Soviet, dan Taliban sudah menunjukkan dapat mengalahkan kekuatan yang jauh lebih canggih. 

Bayangkan efek mematikan dari bom rakitan Improvised Explosive Device (IED) dengan target pasukan AS dan Inggris. Faktor ini serta pengetahuan lokal dan pemahaman tentang medan perang, turut menjadi alasan kenapa Taliban susah terkalahkan. 

3. Fokus ke wilayah utara dan barat 

Terlepas dari karakter kelompok Taliban yang berbeda, ada beberapa hal yang membuktikan bahwa mereka memiliki rencana terkoordinasi terkait kemajuan mereka belakangan ini. 

Ben Barry, mantan pimpinan tentara Inggris dan saat ini menjadi penasihat senior di Institute of Strategic Studies, mengakui keuntungan Taliban mungkin bersifat oportunistik. 

Meski begitu, dia menambahkan, "Jika Anda menulis rencana operasi, saya akan kesulitan untuk menemukan sesuatu yang lebih baik dari ini." 

Dia menunjuk fokus serangan Taliban di wilayah utara dan barat, padahal wilayah itu bukan kantong kekuatan tradisional mereka di selatan, yang mana beberapa ibu kota regional berturut-turut jatuh ke tangan mereka. 

Taliban juga merebut kawasan penyeberangan perbatasan dan pos-pos pemeriksaan utama, yang memasok pendapatan bea cukai yang sangat dibutuhkan dari pemerintah Afghanistan karena minus anggaran. 

Mereka juga meningkatkan target aksi pembunuhan terhadap para pejabat penting, aktivis hak asasi manusia, dan para jurnalis. Perlahan tapi pasti mereka memusnahkan beberapa keuntungan kecil yang dibuat selama 20 tahun terakhir. 

Adapun tentang strategi pemerintah Afghanistan dalam menghadapi Taliban, terbukti lebih sulit untuk didefinisikan. Janji mereka untuk merebut kembali semua wilayah yang direbut Taliban terdengar kosong belaka. 

Sebab, pasukan khusus Afghanistan jumlahnya relatif kecil, yaitu sekitar 10.000 personel, dan mereka tidak mampu melakukan perlawanan. Taliban juga tampaknya memenangi perang propaganda dan pertempuran narasi. 

Barry mengatakan, momentum mereka di medan perang telah meningkatkan moral dan menguatkan rasa persatuan. Sebaliknya, pemerintah Afghanistan berada dalam kondisi tertekan, saling adu sikut, dan memecat para jenderalnya. 

Bakal seperti apa akhir perseteruan ini? 

Situasi seperti itu tentu saja terlihat suram bagi pemerintah Afghanistan. Namun, Jack Watling dari RUSI mengatakan, ketika untuk sementara militer Afghanistan terlihat semakin pesimistis, situasinya masih bisa diselamatkan oleh politik. 

Jika pemerintah bisa merangkul para pemimpin suku, katanya, masih ada kemungkinan di tengah kebuntuan. Ini adalah pandangan yang digaungkan Mike Martin, dengan menunjuk kasus kembalinya mantan panglima perang Abdul Rashid Dostum ke kota Mazar-i-Sharif sebagai momen penting. 

Pertempuran di musim panas akan segera berakhir saat musim dingin mulai menggantikannya, yang membuat manuver lebih sulit bagi pasukan di lapangan. Masih ada kemungkinan semuanya menemui jalan buntu pada akhir tahun, bahkan bisa berubah apabila Taliban dilanda keretakan. 

Namun, saat ini tampaknya upaya AS dan NATO untuk membawa perdamaian, keamanan, dan stabilitas di Afghanistan, sama sia-sianya, dengan apa yang dilakukan Soviet sebelumnya.