Jika Setia Mendengar Denyut Nadi Rakyat, Jokowi Dinilai Akan Sukses Memimpin Indonesia

Hanya mereka yang setia mendengar denyut nadi rakyatlah yang bisa sukses memimpin warga mencapai kesejahteraan material-spiritual dan keluhuran budi.

Jika Setia Mendengar Denyut Nadi Rakyat, Jokowi Dinilai Akan Sukses Memimpin Indonesia
Presiden Joko Widodo/Net

MONITORDAY.COM - Salah satu cara untuk menemukan pemimpin paling bijak diantara pemimpin bijak lainnya di tengah dinamika Pileg dan Pilpres 2019 yang kian hangat adalah melalui laku empati-bathin (lomba kebaikan). Demikian dikatakan Prof. Abdul Munir Mulkhan dalam tulisan artikelnya di Koran Sindo, Selasa (30/10/2018).

Menurut Guru Besar Emiritus Universitas Muhammadiyah Surakarta ini, cara tersebut dilakukan untuk menghindari kompetisi yang tidak sehat. Indikasinya, kata pria yang akrab disapa Romo Munir ini, adalah berkembangnya isu berbau hoax dan SARA.

“Suatu langkah menemukan pemimpin paling bijak diantara pemimpin bijak, melalui laku empati-bathin, atau lomba kebaikan. Ini untuk menghindari kompetisi tidak sehat,” ujarnya.

Munir Mulkhan lalu menjelaskan bahwa penguasa-penguasa bijak dalam sejarah Nusantara sebetulnya telah mewariskan model dan pola kepemimpinan yang terpatri dalam hikmah “manunggaling kawulo gusti” (Jawa: kesatuan-rakyat-pemimpin). Dan kata dia, tiap daerah memiliki konstruksi hikmah kepemimpinan yang berbeda namun dengan maksud serupa.

“Mengenali konstruksi hikmah dan model kepemimpinan tersebut bisa menjadi penuntun memilih pemimpin yang tepat dan bijak,” tuturnya.

Guna menjamin kemenyaturasaan pemimpin dan rakyat itulah, menurut Munir Mulkhan, Presiden Jokowi fokus membangun konektivitas daerah-pusat, rakyat, dan sang pemimpin. “Birokrasi, protokoler, dan regulasi pemerintahan, difungsikan bagi jalannya pelayanan pengembangan kesejahteraan rakyat banyak,” terang Munir Mulkhan.

Pembangunan infrastruktur jalan dan pelabuhan yang terus digenjot, menurut Munir Mulkhan, adalah guna menembus batas-batas agar seluruh rakyat Indonesia memiliki akses bagi kemajuan ekonomi, sosial dan peradaban, serta keluhuran budi.

“Infrastruktur fisik dan immaterial dikembangkan guna menjamin konektivitas antar warga, pusat-daerah, pemimpin-rakyat, aparat negara sebagai pelayan dengan rakyat yang melayani,” ujarnya.

Presiden Jokowi, menurutnya, selalu yakin dengan apa yang dilakukannya. Ia tak pernah takut menghadapi apa pun. Seolah tak peduli dengan keselamatan diri-nya, Jokowi pernak suatu kali bersikeras pergi ke Kabupaten Nduga di Papua, Padahal, menurut Panglima TNI, Nduga merupakan kawasan rawan.

“Satu setengah bulan setelah dilantik, saya langsung terbang ke Papua. Sampai saat ini sudah tujuh kali saya da tang ke Papua dan me ru pakan provinsi paling sering saya kunjungi. Ini wi layah NKRI yang harus diperhatikan,” ung kap Jokowi saat WNI asal Papua di Selandia Baru bertanya tentang motivasinya sering berkunjung ke Papua.

Komunikasi dialogis hubungan resiprokal bagi kesejahteraan publik itu pula lah yang antara lain mendasari pidato Jokowi pada Sidang IMF dan Bank Dunia di Bali beberapa saat lalu. Dalam Sidang IMF dan Bank Dunia pekan kedua Otober 2018, Jokowi mendapat applaus dari hadirin atas kritik halusnya terhadap ketegangan antarnegara besar dunia.

Diketahui, saat menjadi pembicara kunci dalam Plenary session IMF-WB 2018 di Nusa Dua Halla Bali, Jokowi memetaforakan “Game of Thrones” dari kata bijak “Menang jadi Arang, kalah Jadi Abu,” Jokowi mengimbau kepada dunia agar lebih mengedepankan kerjasama dari pada persaingan yang bisa mengarah pada peperangan.

Terakhir, Munir mengatakan, jika tampilan Jokowi yang sederhana, gaya dan pola hidup seperti rakyat biasa, lebih komunikkatif dengan orang kebanyakan, merupakan beberapa penanda dan simbol kepemimpinan dengan kesalehan profetik.

Karena menurutnya, kesalehan seseorang tak hanya bisa dilihat dari tampilan formal kemuslimannya, fasih melafalkan kalimat-kalimat suci qur’ani atau tampilan fisik berpeci, bersorban, pakai gamis, dan sarung. Secara substantif atau hakiki, seseorang yang tampil bak kebanyakan yang biasa, layaknya rakyat jelata miskin, bisa menyandang predikat kesalehan tinggi.

“Para sufi seringkali secara sengaja menampilkan dirinya jauh dari aksesori kemusliman, hanya atas alasan menghindari dari ria, pamer, atau pencitraan yang bisa menghapus ketulusikhlasannya beribadah hanya bagi Tuhannya,” tandasnya.

Kata Munir Mulkhan, hanya mereka yang setia mendengar denyut nadi rakyatlah yang bisa sukses memimpin warga mencapai kesejahteraan material-spiritual dan keluhuran budi.