Jenazah Covid-19 Para Isoman Kerap Terlantar, Muchlas Rowi Ajak Kemenag Rangkul Tokoh dan Ormas Islam

MONITORDAY.COM - Kasus kematian Covid-19 saat melakukan isolasi mandiri (ISOMAN) di rumah sempat meningkat beberapa pekan terakhir. Cerita jenazah Covid-19 yang meninggal dan terlantar lebih dari 24 jam pun kerap kali terdengar. Buntutnya, kebutuhan kita terhadap pemulasaran jenazah jadi meningkat.
Komisaris Independen PT Jamkrindo, H. Muhammad Muchlas Rowi memaparkan, selama peningkatan kasus Covid-19, banyak fasilitas kesehatan yang kewalahan dan mendorong pasien mengambil inisiatif melakukan isolasi mandiri dengan kondisi protokol kesehatan seadanya.
“Hal ini seringkali memunculkan polemik, dengan meningkatnya kasus kematian dalam keadaan isoman, dimana jenazah telah meninggal lebih dari 5 jam, bahkan lebih,” ujar Muchlas saat menjadi Keynote Speaker pada acara Bimtek Pemulasaran Jenazah Covid-19 di Lingkungan Kementerian Agama Kabupaten Bandung Barat, Senin (2/8/2021).
Founder Monday Media Group ini mengungkap, keadaan seperti itu berbuntut pada meningkatnya permintaan untuk proses pemulasaran jenazah isoman. Kata dia, jika melihat tren kematian akibat Covid-19, kebutuhan tenaga pemulasaran masih besar.
Tentu saja, kata Muchlas, pemulasaran jenazah mesti dilakukan oleh tim khusus yang tak hanya paham soal pedoman keagamaan, tapi juga paham cara pemulasaran jenazah dengan protokol kesehatan Covid-19.
“Di masa Covid-19 pemulasaran tak bisa dilihat dari sisi fiqih saja. Tapi juga apakah proses pemulasaran tersebut aman atau tidak dilakukan,” tuturnya.
Muchlas lantas menceritakan, bagaimana pengalamannya membantu proses evakuasi dan pemularasan jenazah Covid-19 di lingkungan perumahannya. Kata dia, itu tidak mudah. Proses tersebut sampai harus didampingi seorang dokter yang mengarahkan agar petugas menggunakan APD, menyemprotkan disinfektan dan protokol Covid-19 lainnya.
“Pengalaman saya di lingkungan perumahan, proses pemulasaran tak semudah yang dibayangkan. Harus dibantu tim dokter. Orang bisa saja pake APD, namun itu tak cukup. Harus pula disemprot dan sebagainya,” ujar muchlas.
Menurut Muchlas, persoalannya akan lain dan lebih rumit jika jenazah Covid-19 berjenis kelamin perempuan. Jika tak paham, maka jenazah bisa saja makin terlantar. Karena tidak banyak orang yang berani. Karena itu, menurut Muchlas, harus ada kolaborasi.
“Persoalan jadi lebih rumit jika jenazahnya perempuan, jika tak mengerti maka jenazah kian terlantar. Maka kolaborasi jadi penting. Kemenag di daerah harus merangkul pihak-pihak yang selama ini konsen dalam kerja-kerja sosial. Ada NU, Muhammadiyah, PUI, Persis atau Ormas Kepemudaan,” pungkasnya.